Oleh: Juariah X BP 2
“Kang!”, Arini berteriak melambaikan tangan pada Hanum yang sedang mengayuh sepeda onthel nya.
Melihat Arini, Hanum lantas menyamping dan menghampiri sang pujaan hati,
“Mau pergi kemana? Neng?”, Tanya Hanum. Senang melihat wajah tunangannya yang cerah di pagi hari ini.
Senyum manis Arini mengembang, “Akang ini bagaimana? Sudah dua hari setelah lamaran tidak bertemu, bukanya bertanya kabar, akang malah bertanya Eneng mau pergi kemana!”, Arini cemberut.
Melihat pujaan hati memasang wajah cemberut, Hanum merasa gemas ia malah berkata,
“Kalau kabar, akang tidak perlu bertanya. Melihat pujaan hati akang tersenyum bahagia seperti ini saja. Akang sudah tahu kalau neng Arini ini.. sudah makan rujak bersama tetangga, bukan?” Hanum mencolek mesra hidung Arini.
“Ih! Akang! Siapa yang memakan rujak pagi-pagi?!” Protes Arini pada Hanum yang menuduhnya sembarangan.
Hanum tertawa ringan melihat wajah Arini yang semakin menekuk. Merayu dan menggoda Arini seperti ini adalah hiburan nyata baginya. Ia sudah tidak sabar untuk segera menikah dan hidup bersama dengan Arini selamanya. Tinggal menunggu hitungan hari impian itu akan menjadi kenyataan.
“Akang akan pergi kemana?” Tanya Arini saat melihat pakaian dinas yang dikenakan oleh kekasihnya tersebut.
“Lho lho, bagaimana ini? Katanya harus bertanya kabar dulu? Kenapa Eneng malah bertanya akang akan pergi kemana?” Tanya Hanum dengan candanya.
“Akang kenapa membalikan pertanyaan? Seharusnya akang menjawabnya kan?” Lagi-lagi wajah cantik Arini cemberut mengundang rasa ingin terus menggoda.
“Iya iya, Akang mau pergi dinas bersama pak lurah, Eneng mau pergi kemana?”
“Akang pergi dinas? Lebih baik akang cepat! Nanti akan terlambat!”
Arini mendorong Hanum agar kembali mengayuh sepedanya. Hanum tidak protes, ia mengikuti apa yang Arini perintah. Hanum mengayuh sepedanya dengan Arini yang juga ikut mendorong sepedanya.
“Sudah cukup neng, sepeda akang tidak rusak tidak usah di dorong. Nanti Eneng lelah terus sakit, jika sakit siapa yang akan repot?” Tanya Hanum masih mengayuh sepedanya.
“Arini akan berhenti, tapi akang tidak boleh berhenti! Arini pulang dulu ya kang!!”
Arini melepas tangannya dari tempat pemboncengan sepeda dan melambaikan tangannya. Hanum menoleh kebelakang dan tersenyum ikut melambaikan tangannya.
“Akang! Hati-hati!!”
“Pasti neng!” Hanum tersenyum pada Arini dan kembali fokus ke jalanan.
Hari menjelang pernikahan Hanum dan Arini seorang yang dikenal pengacau belanda memasuki desa. Pak Lukas namanya, ia adalah salah seorang yang berani menentang belanda dan menjunjung tinggi keadilan bagi para rakyat pribumi. Beberapa cara ia lakukan untuk membuat tentara belanda jengkel dan kewalahan dengan sikapnya itu. Ia ‘mengunjungi’ desa untuk melarikan diri dari kejaran tentara belanda.
“Kami akan melindungi anda segenap jiwa dan raga kami,” ucap Hanum selaku perwakilan dari desa.
“Terima kasih, meskipun kita tidak sedarah, tapi persaudaraan kita tetap erat,” ucap pak Lukas dengan rasa harunya.
Ia mengira bahwa desa ini akan menolaknya setelah mendengar alasan bahwa ia sedang dikejar belanda. Namun, justru malah sebaliknya. Mereka menerimanya dengan lapang dada.
Hanum tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari pak Lukas.
Setelah memberikan tempat menginap untuk pak Lukas, Hanum berencana akan menemui sang calon istri. Meskipun sebenarnya mereka sedang di pingit.
“Pak Lukas yang selalu melawan belanda itu?” Tanya arini yang sedang memunggungi pohon beringin tua.
“Benar, Neng. Akang merasa tidak tega jika harus membiarkan pak Lukas berlari sendiri tanpa kita membantunya,” Ucap Hanum yang berada di sisi pohon lainnya.
Mereka bertemu diam-diam di sebuah pohon beringin tua yang berada di ujung desa, dan membuat syarat untuk tidak saling menatap. Tempat ini yang biasa mereka gunakan untuk dijadikan tempat bertemu secara sembunyi-sembunyi saat mereka tengah berkencan.
“Eneng sudah mendengar hal ini. Eneng kira ini hanya rumor bualan dari Ajeng, tapi ternyata memang bukan rumor,” Arini menyandarkan kepalanya pada batang pohon beringin tersebut. Entah apa yang akan terjadi, tapi hati Arini merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang begitu besar seakan ada sesuatu yang buruk sedang menanti.
“Neng? Kenapa eneng diam saja?” Seru Hanum saat suasana menjadi hening. Terdengar hembusan nafas berat dari Arini.
“Eneng merasa tidak enak hati kang, jika pak Lukas menjadi buron belanda, apa desa akan baik-baik saja?” Keluh Arini mengungkapkan kekhawatiran hatinya.
Sejenak Hanum terdiam memikirkan apa resiko yang akan diterima desa kelahirannya jika kekhawatiran Arini terjadi. Tapi, pak Lukas adalah pahlawan sejati desa mereka. Tanpa pak Lukas yang selalu mencuri perhatian para tentara belanda, kemungkinan besar desa ini tidak akan seperti desa lainnya. Karena desa ini mempunyai tanah yang subur, biasanya Belanda akan membumi hanguskan desa yang subur dan merebut desa tersebut dari pribumi.
“Akang juga khawatir kan?” Tanya Arini pada Hanum yang menjadi hening.
Tanpa Arini lihat, Hanum tersenyum dengan yakin.
“Neng, seluruh warga desa yang ikut mempersiapkan pernikahan kita sudah setuju dengan hal ini. Mereka semua yakin segenap jiwa akan melindungi pak Lukas dari tentara si*lan itu,” ucap Hanum dengan pasti.
“Yah.., jika sudah begitu, eneng hanya bisa menerimanya saja,” ucap Arini.
“Jangan asal menerima saja harus yakin dari hati. Baru itu yang dinamakan ikhlas,” tegur Hanum.
“Iya, Kang. Eneng menerima sepenuh hati!” Seru Arini dengan keyakinannya.
“Haha.. Yasudah lebih baik kita pulang, jangan sampai orang rumah menyadari kita tidak ada di rumah,” ucap Hanum.
“Akang benar, kalau begitu Arini akan pulang. Akang jangan dulu pulang! Ada banyak hal yang harus akang lakukan!” Ucap arini lalu berlari kecil meninggalkan pohon beringin tempat pertemuan mereka.
Hanum menahan suaranya saat akan bertanya kenapa ia tidak diperbolehkan pulang dahulu. Kemudian Hanum terkekeh geli menyadari apa yang di maksud Arini. Hanum berjalan menuju tempat arini tadi. Benar saja, batu yang sengaja di tata rapi oleh warga di sekitar pohon beringin itu, kini berserakan. Dan ini adalah ‘banyak hal yang harus akang lakukan’ yaitu, menata kembali batu yang sengaja arini tendang.
Setelah hari yang ditunggu-tunggu tiba, pernikahan Arini dan Hanum diadakan dengan lancar. Kini adalah hari diadakannya sebuah pesta pernikahan sehari semalam. Para penduduk desa merayakan pernikahan Hanum yang merupakan anak dari kepala desa. Tentu saja semuanya menyambut hari bahagia ini, termasuk Pak Lukas yang sekarang sedang menginap di rumah Kades. Arini dan Hanum yang merupakan bintang dari pesta ini tersenyum bahagia. Impian mereka akhirnya teraih, meskipun dalam hati Arini masih merasakan kekhawatiran.
Pesta pernikahan yang meriah mendadak hening saat ada seorang warga berlari rusuh menabrak guci besar hingga pecah. Warga tersebut berwajah pucat pasi penuh ketakutan bagai kelinci bertemu dengan harimau.
“Pak Kades! Belanda! Belanda ada di desa seberang!! Mereka sedang mencari Tuan Lukas!!” Ucap warga tersebut.
“Apa?! belanda?!”
Suasana pesta yang dipenuhi kegembiraan kini berubah menjadi ketakutan, warga desa menjadi khawatir tentang keamanan desa dan pak Lukas.
Ketakutan dan kekhawatiran Arini ikut menjadi,
“Kang? Bagaimana ini?” Tanya Arini pada Hanum. Ia takut desa yang selama ini dijaga oleh warga diambil alih oleh Belanda.
Hanum mengelus lembut rambut arini, lalu menatap sang ayah yang merupakan Kepala Desa. Kades yang mengerti tentang maksud putranya tersebut langsung mengangguk mengiyakan.
Mendapat persetujuan dari sang ayah selaku Kades, Hanum berdiri dari duduknya,
“Semua warga desa! Dengarkan saya! Situasi saat ini sangat berpengaruh pada keamanan pak Lukas lebih baik petani desa bawa pak Lukas keluar dari desa! Gunakan pacul, atau benda tajam untuk berjaga-jaga! Lindungi Pak Lukas dengan jiwa raga kalian! Jangan sampai tertangkap oleh belanda!” Titah Hanum pada petani desa.
“Baik!” Para petani melaksanakan perintah dari Hanum.
“Pak Lukas, anda harus segera pergi sebelum belanda sampai disini! Ikuti para petani, mereka akan melindungi pak Lukas!” Ucap Hanum pada Pak Lukas yang juga berada di tempat ini.
Setelah rombongan pak Lukas pergi, Hanum kembali berkata,
“Untuk semua warga desa! Jangan ada yang berbicara tentang pak Lukas! Jika belanda sampai disini! Dan menanyai tentang pak Lukas jawab saja tidak tahu!”
“Baik!”
“Tunggu! Kang? Bagaimana kalau kita pergi meninggalkan desa juga?” Usul Arini.
“Tidak Arini., Belanda akan cepat mengetahui hal itu, baik kita atau pak Lukas tidak akan ada yang selamat. Lebih baik satu yang selamat dari pada tidak ada satupun yang selamat!” Ucap Hanum dengan tegas.
Semua warga desa mengangguk dan berjanji tidak akan mengatakan apapun kepada belanda. Mereka tidak akan ingkar janji hingga akhir hayat mereka. Hanum merasa puas dan terharu dengan kesetiaan para penduduk desa. Mereka rela berjanji dengan nyawa sebagai taruhannya.
Pesta akhirnya usai saat hujan deras mengguyur desa, hujan yang besar disertai angin kencang dan kilat yang menggelegar membuat warga berspekulasi. Jika hujan seperti ini, pasti akan menyulitkan tentara belanda untuk sampai di desa ini. Mereka akhirnya percaya bahwa tentara belanda pasti menghentikan pencarian pak Lukas.
Di pagi buta, Arini terbangun karena gedoran pintu yang teramat kencang. Arini turun dari ranjang, namun langkahnya terhenti saat sebuah tangan menahannya.
Arini menoleh dan mendapati Hanum sang suami sudah berdiri di belakangnya.
“Tidak usah, biar akang saja. Eneng lebih baik kembali tidur,” ucap Hanum. Lalu melangkah akan meninggalkan kamar.
“Tunggu, Kang. Eneng ikut!” Arini menahan tangan hanum, kekhawatiran dan ketakutan itu kembali muncul. Ia merasa gelisah.
Hanum menangkup sebelah pipi arini dengan tangannya yang bebas. Lalu mengelus pelan,
“Tidak akan ada yang terjadi, mungkin hanya warga saja yang ingin membuat laporan,” ucap Hanun meskipun dalam lubuk hatinya ia tidak yakin dengan perkataannya.
“Tapi, Kang..”
Hanum tersenyum,
“Percayalah pada akang,” meskipun sedikit tidak yakin. Tapi, Hanun tetap harus meyakinkan Arini.
Ketukan pintu semakin keras. Hanum tersadar dan pergi setelah mengecup lembut kening arini. Entah kenapa, tapi rasanya berat untuk melangkah.
“Tunggu sebentar!!” Teriak Hanum pada orang yang mengetuk. Lalu pergi keluar kamar meninggalkan Arini dengan kekhawatiran yang begitu besar.
Hanum membuka pintu,
“Ada a-” suaranya terhenti.
Ujung pistol sudah menempel di pelipisnya setelah ia membuka pintu. Beberapa pria berseragam menatapnya penuh ancaman. Mereka tentara belanda, yang mencari pak Lukas.
“Ikuti kami!” Ucap salah seorang tentara belanda dengan aksen eropa yang sangat kental.
Hanum tidak melawan ataupun berteriak. Ia menutup pintu dengan pelan lalu mengikuti langkah para tentara belanda. Sengaja ia lakukan, agar arini tidak keluar dari rumah.
Ia takut jika Arini keluar dari rumah, ia akan dibawa oleh tentara belanda. Lebih baik ia saja yang dibawa jangan sampai Arini juga.
Sudah satu jam lebih, Arini menunggu Hanum. Ia mengerti jika Hanum selalu membantu ayahnya mengurus desa. Tapi, seharusnya Hanum pamitan terlebih dahulu jika memang ada hal penting yang mendesak. Apa Hanum memang begitu? Pernikahan mereka baru berumur satu hari, dan tidak semua sikap dan sifat Hanum di ketahui oleh arini. Apa jangan-jangan kekhawatiran itu terjadi? Arini berusaha untuk berpikiran positif. Namun, lagi-lagi bayangan tentang tentara belanda selalu menghantui pikirannya.
“Arini!! Arini!!”
Ketukan pintu dan panggilan dari suara yang ia kenal membuyarkan pikirannya. Arini bergegas keluar kamar, ia langsung membuka pintu.
“Ajeng?” Arini melihat wajah Ajeng yang dipenuhi dengan air mata.
“Apa yang terjadi ajeng?” Tanya Arini.
“Arini..hiks..bapak..hiks..” Ajeng menangis tersedu-sedu.
Arini semakin khawatir,
“Ajeng ceritakan apa yang terjadi?”
“Bapak! Arini! Bapak Ajeng dibawa oleh belanda!” Ajeng berkata dengan penuh air mata.
“Hah? Be-belanda?” Arini kemudian menyadari. Terjadi sesuatu di desanya.
“Iya! Ada yang mengetuk pintu..hiks saat Ajeng buka..hiks..mereka membawa bapak pergi…hiks..” ucap Ajeng.
Arini terdiam, itu tandanya tadi hanum-
“Hanum!!” Ia berteriak lalu menangis kencang. Ia tak rela jika hanum dibawa oleh belanda. Ia tidak rela itu terjadi.
“Arini…hiks.. mereka..membawa bapak ke pinggir sungai..hiks..”
Mendengar perkataan Ajeng, arini langsung berlari menuju sungai.
Ajeng ikut menyusul arini. Tidak peduli bahwa ia tidak mengenakan alas kaki, arini terus berlari. Jika ini akhirnya, setidaknya ia harus melihat wajah hanum terlebih dahulu. Batu yang terinjak dan menimbulkan rasa ngilu, tak di rasa oleh Arini. Beberapa kerikil kecil menggores telapak kaki Arini hingga mengeluarkan darah pun tak di hiraukannya. Luka mulai bermunculan pada kaki mulus Arini.
“Hanum!!”
Melihat wajah Arini yang dipenuhi Air mata. Membuat relung hati Hanum merasakan sakit. Arini, wanita yang ia sayang. Arini, wanita yang ia cintai. Dan, Arini wanita yang selama ini kuat di hadapannya menunjukan air mata di hadapannya.
“Arini…”
Dorr!!
“Hanum!!” Arini berlari menuju tempat berdirinya Hanum.
Saat ia akan menggapai Hanum, seorang tentara Belanda menendang dada Hanum hingga jatuh ke sungai.
Byur!!
“Ha..num..”
Air mata tak lagi keluar dari kelopak mata Arini. Pandangan Arini kosong. Seakan bingung, berharap ini adalah mimpi. Tapi, semuanya benar-benar terjadi di hadapannya. Arini berlari dan menendang tentara Belanda yang sudah menembak dan menendang suaminya itu.
“Dasar manusia biadab!!” hina Arini.
Arini langsung menceburkan diri ke sungai, ia berenang berusaha mencapai tubuh sang suami.
Pandangan Hanum yang kabur melihat seorang wanita berenang menuju ke arahnya. Ia kenal wanita itu, itu Arini. Dengan energi yang tersisa, Hanum berusaha untuk tidak hanyut oleh derasnya air sungai yang dikarenakan hujan deras kemarin. Hanum meraih cabang pohon agar tidak hanyut meskipun kesadarannya mulai melemah.
“Akang!!” Arini meraih tangan Hanum.
Akhirnya ia bisa mendapatkan Hanum. Arini memeluk Hanum dan membawanya ke tepi sungai.
“Akang, akang dengar Eneng kan? Akang dengar Arini kan?” Arini menepuk-nepuk pipi pujaan hatinya.
Tepukan pipi itu berhenti, tangan dingin Hanum menggenggam tangan Arini. Dengan sedikit kesadaran Hanum berucap,
“Maafkan akang neng..” dengan suara yang terbata-bata Hanum berucap.
“Eneng maafkan apapun kesalahan akang! Asalkan akang ikut pulang bersama Eneng!”
“Maafkan akang… eneng.. harus menerima nya..” dengan nafas yang terputus-putus Hanum mengucapkan permintaan maaf pada Arini.
“Eneng menerimanya kang!! Eneng menerimanya!!”
“Jangan.. asal..menerima saja.. harus yakin..dari…hati. Baru itu..yang dinamakan…ikhlas,” tenangnya yang melemah tak menghentikan Hanum untuk menegur Arini, tentang arti dari ikhlas.
Air mata Arini kembali keluar, sang pujaan hati yang kini dipenuhi darah menegurnya kembali.
“Akang..akan.. pulang.. Eneng… tidak boleh ikut.. masih banyak.. yang harus.. Eneng.. kerjakan..,” menahan agar kesadaran tidak hilang, Hanum terus berucap pada Arini.
Kembali, ucapan Arini di pohon beringin kembali diucap dan diganti menjadi ‘ikut’ . Arini tidak boleh ikut, masih banyak yang harus Arini lakukan.
“Akang…” Arini berkata sembari menangis.
“Akang.. akan berhenti.. tapi.. Arini tidak.. boleh berhenti..” nafas yang tersengal-sengal menjelaskan keadaan sang pujaan hati
Lagi, Hanum kembali mengucap yang Arini ucapkan. Di sepeda waktu itu.
Perjalanan hidup Hanum boleh berhenti, tetapi perjalanan hidup Arini masih panjang.
“Akang tidak boleh berkata seperti itu!!” Tangisan Arini semakin menjadi.
“Ingat.. Ikhlaskan Arini… Akang mencintai Arini…” nafas terakhir berhembus, menandakan seseorang telah pergi.
“Akang! Akang!!”
Arini mengguncang tubuh Hanum. Berharap Hanum kembali bangun dan menarik semua ucapannya. Arini memeluk tubuh Hanum dengan erat. Tangisan Arini perlahan berhenti. Ia akan mengikuti perkataan Hanum. Mengikhlaskan nya.
Arini bangkit, memapah tubuh Hanum yang sudah dingin. Membawanya menuju rumahnya. Tentara Belanda sudah tidak ada, banyak para istri yang menangisi kepergiaan suaminya, banyak anak perempuan yang menangisi kepergian ayah dan saudaranya. Semuanya sungguh kacau, desa yang dulu tentram kini penuh tangisan, desa yang dulu bersih, kini berlumuran darah.
“Arini…”
Panggilan dari Ajeng tak dihiraukan Arini. Arini berjalan dengan memapah tubuh suaminya, air matanya kering membekas di pipi, memberikan luka dalam pada hatinya. Pandangan mata yang kosong tak mampu mengekspresikan kesedihan yang dialami Arini. Arini meletakan jasad sang suami pada tanah basah bekas hujan kemarin. Memasuki rumah dan keluar dengan selembar sprai serta sebuah pisau. Arini membungkus jasad Hanum dengan sprei yang ada. Menggali tanah dengan pisau yang ia bawa. Semua melihat tindakan Arini dan mengikuti tindakannya. Semua wanita di desa, membungkus jasad lelaki yang mereka cintai dan menggali kuburan untuk mereka dengan bahan dan alat seadanya.
Kuburan untuk lelaki yang mereka cintai, kini sudah berdiri. Pemakaman untuk ayah sudah mereka lakukan. Kini di desa hanya tersisa para gadis, janda, dan anak yatim. Serta kenangan yang ada dengan kasih yang meninggalkan.
TAMAT
“Jangan asal menerima saja harus yakin dari hati. Baru itu yang dinamakan ikhlas,” -Hanum
Terinspirasi dari tragedi Rawa Gede di Karawang yang mengorbankan puluhan nyawa. Pembantaian yang di lakukan oleh Belanda hanya untuk mencari Lukas Si Tubuh Kecil Yang Bikin Repot.
Tahun 1945