ALPHA CENTAURI

Author by: Pena November


Jum’at siang, wanita berambut coklat itu menyusuri jalan menuju gedung yang paling tinggi hakikatnya, paling megah kedudukannya. Ia mendongak, menyunggingkan senyum terbaiknya. Lantas melanjutkan ketukan kaki lusuhnya menuju rumah bernaungnya, terduduklah ia, terkepal lah tangannya.

“Tuhan, semoga hari ini adalah hari baik.”

“Manusia itu berbeda, sayang. Kalau semuanya sama, nanti nggak ada perbedaan sudut pandang, nggak ada yang namanya benar atau salah. Tapi, mereka tetap harus hidup berdampingan, supaya keduanya mengerti, keduanya paham dari segala sisi. Makannya, hargai perbedaan setiap orang, ya?”

Iya bunda, Missel mengerti.


“Halo, Missel. Kamu dimana? Aku udah selesai.”

“Aku juga udah selesai, Juna. Jemput sekarang, ya.”

“Iya.”

Pria bersurai hitam itu meneguk kembali botol air minumnya sampai habis isinya. Jum’at minggu ini lumayan terik, mungkin akan butuh beberapa botol air untuk mengisi kerongkongannya. Tapi kalau dalam angan, New Zealand adalah negara yang paling ingin ia kunjungi di penghujung Maret hingga Mei, berjalan beriringan dengan domba-domba, menikmati hijaunya kota dari jarak pandang sedekat mungkin. Begitulah bagaimana ia berangan sebelum bunyi klakson di belakang membuyarkan lamunannya.

Arjuna, jika orang bertanya apa yang paling baik dari Juna, Missel pasti jadi pendongeng secara tiba-tiba. “Juna itu baik, bunda! Kalau Missel jabarkan baiknya dia satu persatu, pasti dunia dan seisinya akan cemburu! Tapi dia nggak pernah pamrih, dia mungkin kelihatan jutek dengan sikapnya yang cenderung diam, tapi dia yang paling peduli dan mengerti loh, bunda. Waktu Missel tanya kenapa dia selalu jadi manusia paling sabar setelah bunda, dia cuman jawab,

“Agama yang menuntunku, Missel.”


Jika cuaca sedang panas begini, yang paling dicari pasti makanan-makanan pedas. Kalau kata Juna dan Missel sih begitu, katanya sensasinya nggak main-main. Maka disini lah mereka akhirnya, duduk berhadapan di angkringan mie ayamnya Pak Sabar.

“Yang pedesnya dua ya, pak!” Siapa lagi jika bukan suara milik Missel yang mengejutkan Pak Sabar. Disuguhi dengan suara melengkingnya, pria berumur 40 tahunan itu berpikir mungkin Missel terlalu giat bernyanyi di gereja. “Siap, neng!”

“Juna, kita taruhan yuk. Yang makannya paling cepet abis, dia gausah bayar! Tapi, pedesnya harus 5 sendok. Gimana?” Missel dengan semangatnya yang menggebu – gebu mendaratkan pertanyaan kepada Arjuna. Yang dibalas gelengan lemah dan helaan nafas panjang.

“Nggak boleh Missel, kamu tau sendiri kan kalo makan makanan terlalu pedas itu nggak baik buat organ pencernaan. Ntar kamu bisa berupaya kena refluks asam, rempah-rempah merupakan kombinasi dari asam, kalo terlalu banyak asam yang masuk, rempah-rempah berpotensi bikin dinding lambung kamu luka. Atau gastric ulcer, rasa sakit yang muncul di lapisan esofagus, lambung, atau usus kecil. Kalo udah kejadian gimana? Siapa yang repot? Ntar kamu mau makan apa apa juga nggak selera lo-”

“Iiih Juna, kamu udah jelasin itu jutaan kali, tau! Yaudah yaudah, nggak terlalu pedes deh. Dasar anak kedokteran!” Ledek Missel dengan menjulurkan lidahnya diiringi dengan datangnya 2 porsi mie ayam Pak Sabar.

“Juna, nanti malem liat bintang ya!”

“Iya bawel, makan dulu.”


“Wah, bintang hari ini lebih banyak ya dari hari-hari sebelumnya, cantik banget, Juna!” Teriak Missel sambil berpandangan ke atas langit malam, duduk berdampingan diatas rooftop. Dengan matanya yang berbinar-binar, ia menumpahkan segala kecintaannya terhadap yang diatas sana.

“Iya, cantik. Sampai Missel aja kalah telak, ya.” Juna tersenyum simpul, dibalas dengan dengusan perempuan disampingnya.

Angin malam turut serta menjadi saksi ketiga dari indahnya sorot bintang diatas keduanya. Ada kalanya hening bukan hambatan, melainkan tukar pikiran yang terkadang terasa menenangkan. Bibir terkatup, namun pikiran bergelimang tanya dan fakta. Juna menoleh ke sebelahnya, didapatinya perempuan itu dengan sejuta paras indahnya. Karena ia baru saja berbohong, bahkan bintang sekalipun tak dapat menyaingi Missel, si perempuan ceria yang menemani harinya 2 tahun belakangan.

“Juna,” Tegur misel laun.

“Hm?”

“Ada loh, bintang yang deket banget sama matahari, salah satunya Alpha Centauri. Kalau dari sini, katanya sih dia yang paling terang ketiga diantara Sirius dan Canopus. Tapi meski begitu, tetap aja mereka jauh. Tau nggak kenapa?” Missel menolehkan pandangnya kepada pria disampingnya, yang dibalas langsung dengan gelengan.

“Walaupun matahari sama Alpha Centauri itu tetanggaan, tapi mereka berjarak 4,37 tahun cahaya atau 40 triliun kilometer. Bahkan kalau pake pesawat canggih jaman sekarang aja, kayanya butuh waktu ratusan sampai ribuan tahun. Seumpamanya kamu itu matahari, aku adalah Alpha Centaurinya. Kamu dekat, tapi nggak bisa kudatangi, Juna. Nggak bisa aku gapai–” Arjuna menoleh, mengernyitkan jidatnya seolah meminta penjelasan.

“Kamu terlihat, tapi nggak teraih.” Missel kembali mendongakkan kepalanya, meraih satu persatu bintang di pengelihatannya.

“Maksud kamu apa, Sel?” Dilontarkannya tanya yang bersemayam dibenaknya pada si pembawa cerita. Missel memejamkan matanya.

“Juna, kalau aku tanya. Pilih aku, atau agamamu?” Bak dihantam batu besar, pertanyaan itu membawa Arjuna pada kebisuan. Arjuna tidak suka pilihan, tapi yang dihadapkannya kini terpaksa membuatnya harus memilih, kan?

Ibu Arjuna dulu sering sekali berpesan, jangan sekali-kali menduakan Tuhan. Presensi Tuhan memang tidak nampak dalam wujud, tapi Ia selalu ada, mendengar dan melihat para hamba terkasihnya dari atas sana. Mungkin itulah mengapa Arjuna selalu menemukan damai, dan Missel yang memancarkan tenang.

“Sama Juna, aku juga bingung. Salah kan, rasanya? Seakan kita ragu atas pilihan yang padahal sudah mutlak jawabannya.” Missel menimpali lagi, seakan paham betul isi hati Arjuna. Yang ditanya hanya diam, menunduk bisu membawa jawaban atas keraguannya.

Missel dengan langkah kecilnya mendatangi gereja, mengepalkan tangannya. Dan Arjuna, yang menumpu jidatnya pada sajadah di mesjid, rumah ibadahnya.

“Kita sudahi sampai sini saja, ya?” Hening kembali menjadi dominasi, padahal keduanya telah menyiapkan hati dan kondisi berjaga-jaga jika hal ini terjadi. Tapi tetap saja rasanya selalu tidak siap, tetap menusuk walau hakikatnya itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. Arjuna, mendeklarasikan pilihannya, menatap wajah Missel dari samping yang masih elok memandang bintang. Missel menoleh, tersenyum tipis dengan nanar matanya yang bersinar seperti Alpha Centauri-nya, entah memancarkan senang seperti biasanya atau pedih karena sekuat tenaga menahan agar kristal bening tak turun ke pipinya.

Arjuna, semoga kamu sehat dan senang selalu ya. Terimakasih telah mengajarkanku arti mencintai apa yang patut lebih dulu dicintai.

Semoga Tuhan selalu memberkatimu, Missel.


“Juna, kamu pasti luar biasa hari ini. Selalu percaya diri ya, karena kamu selalu punya semuanya kecuali yang satu itu tadi, percaya diri.”

Arjuna terkekeh, diletakannya ponsel diatas meja didepannya. Menghadap cermin dan membenahi dasi dari tuxedo hitamnya. “Iya, bawel. Kamu juga harus lebih percaya diri dari aku hari ini. Dandan yang cantik, jangan sampai malu-maluin aku, ya.” Arjuna mendudukan bokongnya dikursi, menghela nafas panjang seraya terkekeh pelan.

“Gak kerasa, ya, udah lewat 2 tahun semenjak kita pacaran.” Tambah juna lagi. Hening, namun dapat terdengar pelan tawa Missel dari ponselnya.

“Jangan dramatis dulu deh, Juna. Nanti kalau make up-ku luntur semua, kamu yang salah ya!” Arjuna memilih tak menjawab, namun membiarkan dirinya hanyut dalam tawa.

“Ah, udah dulu, ya! Aku mau siap siap lagi. Bye, Juna!”

Dapat terbayang dari sini, wajah Missel yang akan 2x lipat lebih cantik dari biasanya, dengan gaun putih elegan dan rambut yang ditata sepadan. Juna lagi-lagi tersenyum, mungkin hari ini ia akan banyak tersenyum. Ia berdebar.

Sudah lama sekali rasanya semenjak Missel dengan pembicaraan antusiasnya tentang bintang dan seluk beluknya, dan Arjuna dengan pembawaannya yang tenang mengomentari makanan mereka. Missel selalu menjadi titik dimana dunianya berpusat, Arjuna bukan orang baik, tapi Missel selalu memberinya yang terbaik.

Lamunan Arjuna disadarkan oleh teriakan seisi gedung yang memandang takjub ke arah pintu. Juna menoleh, didapatinya presensi wanita yang dicintainya, berjalan anggun memasang senyum yang tak lepas dari wajahnya. Berjalan seakan dunia hari ini hanya miliknya, dapat Arjuna rasakan dari sini kerlip mata Missel yang memancarkan gugup, namun tetap terang seperti biasanya.

Arjuna tidak sekalipun melepas pandangnya, ia bahagia.

“Missel Pricillia, aku mengambil engkau menjadi seorang istriku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus.”

Arjuna menunduk, menyembunyikan senyum teduhnya, menanti kalimat selanjutnya yang terlontar dari si pengantin wanita.

“Aldo Farius Albertus, aku mengambil engkau menjadi seorang suamiku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus.”

Missel menepati janjinya, ia percaya diri hari ini, ia terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Arjuna memandang lurus kearah altar dimana sepasang suami istri itu bersumpah, merapal doa agar Missel selalu bahagia selamanya.

Benar kata orang, mencintai itu perihal mengasihi, memahami, dan merelakan. Hari ini, Arjuna mengerti. Karena Arjuna pun sudah tidak menyalahi tata surya dan porosnya yang saat itu berputar menertawai keadaannya, ia tidak lagi berpikir waktu membunuh jiwanya yang kian hari menangisi kepergian dunianya. Mungkin saja, ia tidak menyesal lagi sekarang, karena dulu ia bahagia.

“Juna, kurasa aku benar perihal kamu yang seumpama matahari. Karena kamu hangat, kamu paling terang dari semua yang benderang. Kamu mungkin nggak sadar, tapi kamu bersinar untuk orang, dan untuk kamu sendiri.”

Terima kasih ya, Missel. Kamu buat aku sadar bahwa Tuhan yang kusembah itu bukan pilihan. Terima kasih sudah merelakan apa yang pernah kamu punya demi Dia. Karena aku sadar, rasa sayangku ke kamu nggak sebesar punya Dia, begitu juga rasa sayang kamu yang nggak akan pernah bisa menandingi yang Tuhanku punya. Dari kamu, aku belajar banyak.

Arjuna mengerti.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori