Bahasa dari hati

Penulis : Tazkia

Bagian 1 – Suara di Balik Pintu Bambu

Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah anyaman bambu rumah di desa
Sukamerta. Udara masih berembun, dan suara ayam jantan terdengar bersahutan
dari kejauhan. Di dapur, aroma sereh dan daun salam menguar dari panci kecil yang
mendidih di atas tungku.

Arunima duduk di tangga bambu sambil memandangi jalan tanah yang masih
basah. Di tangannya, ia menggenggam ponsel, menatap layar yang menampilkan
video pendek berisi lagu-lagu pop viral. Bibirnya bergerak pelan, menirukan lirik
dalam bahasa Indonesia bercampur slang gaul Jakarta.

Dari dalam rumah, terdengar suara lembut seorang perempuan tua bersenandung
pelan, diiringi petikan kecapi. Suara itu seperti datang dari masa yang lain —
tenang, dalam, dan penuh makna.

“Ceurik rahwana, ceurik rasa… nu nyumput dina jero haté…”

Neneknya, Nek Laras, sedang menembang di bale. Suaranya serak tapi
menenangkan, seperti angin sore yang menyapa daun padi.

“Run… ari geus sareum teu, Nini teh nyiapkeun sangu liwet. Sini atuh nulungan,”
panggil Nek Laras dengan lembut.

Arunima menutup ponselnya buru-buru.
“Iya, Nek… bentar lagi,” sahutnya. Ia berjalan masuk, tapi di matanya tersirat
sedikit gelisah.

Bagi Arunima, bahasa Sunda sering terasa “aneh” di telinganya. Di sekolah, hampir
semua teman berbicara dengan bahasa Indonesia. Bahkan ketika Arunima mencoba

bicara dalam bahasa Sunda, mereka sering menertawakannya karena logatnya
dianggap “terlalu kampung”.

Namun bagi Nek Laras, bahasa Sunda adalah napas kehidupan.
Neneknya dulu seorang penembang tradisional — sering diundang tampil dalam
acara mapag panganten atau ngalamar.
Kini, usianya sudah senja. Tapi setiap pagi dan sore, ia tetap menembang, seolah
menyiram bunga-bunga kenangan yang tak boleh layu.

“Run,” kata Nek Laras sambil tersenyum, “basa téh téh cermin. Lamun urang teu
bisa nyebut ku haté, kumaha hayang ngarti rasa?”

Arunima mengangguk, tapi di dalam hati, ia belum mengerti. Ia lebih suka bahasa
yang terdengar keren di telinga teman-temannya — bukan bahasa yang
membuatnya merasa asing di lingkungannya sendiri.

Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi di dada Arunima, ada sesuatu yang mulai
tumbuh: sebuah jarak yang perlahan memisahkannya dari dunia neneknya.

Bagian 2 – Bayangan di Antara Nada

Waktu berjalan cepat. Di sekolah, guru seni, Pak Wira, mengumumkan lomba
Festival Budaya Daerah. Setiap kelas diminta menampilkan pertunjukan yang
menonjolkan budaya lokal.

Teman-teman Arunima langsung heboh.
“Eh, gimana kalau kita bawain lagu Sunda aja, ya?” usul salah satu teman.
Tapi yang lain cepat menolak.

“Aduh, jangan yang jadul, deh. Kita bikin aja tarian modern campur pop, biar
keren!”

Arunima terdiam. Ia tahu Nek Laras pasti senang kalau ia ikut membawakan lagu
Sunda. Tapi di sisi lain, Arunima takut diejek.
Bayangan teman-temannya yang tertawa waktu ia bicara “punten” dengan logat
kampung masih membekas di benaknya.

Sore harinya, ia pulang dan mendapati Nek Laras sedang menenun di teras,
ditemani lagu kecapi pelan.
“Naha katingal sedih kitu, Arun?” tanya Nek Laras.
“Enggak, Nek. Di sekolah cuma disuruh bikin pertunjukan budaya aja.”
“Ooh, bagus atuh. Rék nyanyi tembang?”
Arunima tersenyum kecil. “Kayaknya enggak, Nek. Aku malu. Teman-teman suka
ngetawain bahasa Sunda.”

Neneknya berhenti menenun, menatap cucunya lembut tapi dalam.
“Run, lamun bener-bener cinta kana dirina sorangan, tong sieun nyebut basa
sorangan. Basa téh lain ngan kecap, tapi ogé rasa, getih, jeung jati diri.”

Arunima hanya menunduk. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Di kejauhan, suara gamelan dari rumah tetangga terdengar samar, bercampur
dengan suara jangkrik yang mulai keluar saat senja datang.
Suara itu begitu indah, tapi bagi Arunima… masih terasa jauh.

Malamnya, saat Arunima hendak tidur, ia mendengar suara tembang dari kamar
Nek Laras.

“Sora angin ngageter, nyebarkeun kenangan nu teu sirna…”

Arunima berdiri di depan pintu, mendengarkan diam-diam. Dalam senandung itu,
ada sesuatu yang menenangkan — tapi juga membuat hatinya sesak tanpa tahu
mengapa.

Bagian 3 – Nada Terakhir

Hujan turun sejak subuh. Butiran air menetes dari ujung genting rumah kayu,
menimbulkan suara ritmis seperti doa yang berulang. Di kamar, Nek Laras terbaring
lemah. Wajahnya pucat, tapi bibirnya masih bergerak pelan mengikuti alunan
kecapi yang disimpan di samping ranjang.

Arunima duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan neneknya erat-erat.
“Nek, istirahat dulu, ya. Jangan dipaksa,” ucapnya lirih.
Tapi Nek Laras tersenyum. “Run, sora téh moal pareum lamun aya nu neruskeun.
Geura simpen ieu kecapi, nya. Anjeun nu kudu ngajaga sora Nini.”
“Nek, jangan ngomong kayak gitu…” suara Arunima pecah. “Nek pasti sembuh…”
Neneknya menatap lembut, matanya hangat meski tubuhnya lemah.
“Hirup téh siga tembang, Run. Aya awal, aya tungtungna. Tapi lamun aya nu
neraskeun, tembangna bakal hirup deui.”

Air mata jatuh dari mata Arunima, menetes ke punggung tangan neneknya.

“Nyanyikeun tina haté, Run… tina haté…”
Itu adalah kata terakhir yang keluar dari bibir Nek Laras sebelum napasnya berhenti
bersama suara hujan di luar.

Rumah itu jadi sunyi setelahnya. Tak ada lagi tembang kecapi di sore hari. Tak ada
lagi tawa lembut yang menyapa.
Arunima berjalan menyusuri ruangan dengan mata sembab. Di meja, ia menemukan
sebuah surat kecil bertulisan tangan halus :

“Lamun anjeun nyanyi, ulah sieun. Basa téh jalan pikeun ngadeukeutan rasa.
Ngomong, nyanyi, jeung hirup dina basa Sunda téh sarua jeung ngahargaan diri
sorangan.”

Surat itu basah oleh air matanya.
Hari itu, Arunima sadar: bahasa bukan sekadar alat bicara — tapi kenangan, cinta,
dan doa yang hidup di antara kata-kata.

Beberapa minggu kemudian, Festival Budaya Daerah pun tiba. Arunima datang
membawa kecapi tua peninggalan Nek Laras.
“Run, kamu serius mau tampil pakai itu?” tanya Dita heran.
Arunima tersenyum lembut. “Iya. Aku mau nyanyi dari hati.”

Saat naik ke panggung, tangannya gemetar. Tapi begitu jari-jarinya menyentuh
senar kecapi, ia merasa seolah Nek Laras berdiri di sisinya.
Suara kecapi mengalun lembut, diiringi tembang yang ia nyanyikan dengan penuh
perasaan:

“Ceurik rahwana, nyimpen rasa nu jero…
Angin ngembuskeun cinta nu teu luntur…”

Ruang itu hening. Tak satu pun yang berbicara. Semua hanyut dalam nada dan
makna.
Ketika lagu usai, Arunima menatap langit-langit aula dan berbisik pelan,

“Nek, ayeuna Arun teu sieun deui.”

Bagian 4 – Bahasa yang Tetap Hidup

Musim hujan berganti. Langit kembali biru muda, dan suara jangkrik di malam hari
menjadi lagu baru di telinga Arunima.
Setiap sore, ia duduk di bale bambu rumahnya, kecapi di pangkuan, dikelilingi
anak-anak kecil desa.

“Teh Arunima, nyanyi deui atuh lagu Nini Laras!” pinta seorang bocah.
Arunima tersenyum hangat. “Bener hoyong ngadangu?”
“Hoyong pisan, Teh!” jawab mereka serentak.

Ia pun mulai memetik kecapi. Nada-nada lembut meluncur, mengisi udara sore.
Anak-anak ikut bersenandung dalam bahasa Sunda, meski belum fasih.
Arunima tersenyum — di setiap suku kata yang mereka ucapkan, ia mendengar
gema cinta dari masa lalu.

Beberapa bulan kemudian, sekolahnya menggelar Festival Budaya Antar Sekolah.
Kali ini, Arunima menjadi ketua panitia. Ia berdiri di depan teman-teman panitia
dan berkata:

“Teman-teman, budaya bukan cuma masa lalu. Ini tentang siapa kita. Bahasa daerah
bukan hal memalukan, itu cara kita mencintai diri sendiri.”

Dita mengangguk. “Aku mau ikut latihan tembang juga, Run.”
Arunima tertawa kecil. “Boleh. Tapi kudu sabar, nya. Nyanyi ku basa Sunda téh
kudu tina haté.”

Hari festival tiba. Aula dihias dengan kain batik, anyaman bambu, dan lampu
gantung dari rotan. Saat giliran kelompok Arunima tampil, suasana berubah hening.
Mereka membawakan tembang berjudul “Bahasa dari Hati.”

“Basa téh jembatan rasa,
Nyambungkeun jiwa, ngagerakkeun haté.
Lamun leungit kecap indung,
Kumaha urang nyebut cinta?”

Lagu itu berakhir dengan tepuk tangan panjang. Tapi bagi Arunima, tepuk tangan
itu tak sepenting bisikan yang terasa di hatinya:

“Run, sora Nini aya di dinya…”

Senja tiba. Arunima berjalan pulang melewati jalan desa. Angin sore membelai
wajahnya lembut.
Ia berhenti di bawah pohon jambu, lalu menatap langit jingga.
Dalam diam, ia menyanyikan tembang kecil — suaranya pelan, tapi penuh cinta.

“Miheulaan ku basa, ditutup ku haté…”

Dan untuk pertama kalinya, Arunima benar-benar mengerti apa yang dimaksud
Nek Laras dulu:
” Bahasa tidak pernah mati, selama diucapkan dengan hati. “

Ieu carita téh karya Tazkia Elyafehima, minangka ungkara rasa jeung kanyaah kana
basa Sunda jeung budaya abdi sorangan.
Mugi saukur nu maca tiasa ngaraos yén basa téh lain ukur kecap, tapi ogé cinta anu
teu aya tungtungna.

TAMAT

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori