Bayangan Kata yang Hilang

Penulis : Cazkya Tsana Rachman

Di sebuah desa kecil di pedalaman Jawa Tengah, tempat sungai mengalir tenang dan sawah hijau
membentang seperti permadani hidup, hiduplah seorang pemuda bernama Arif. Arif bukanlah pemuda biasa; ia
adalah penjaga terakhir dari sebuah tradisi yang hampir punah: seni wayang kulit. Di desanya, wayang bukan
sekadar pertunjukan, melainkan jembatan antara dunia manusia dan roh-roh leluhur. Tapi Arif tahu, tradisi itu
terancam oleh gelombang modernisasi yang datang dari kota besar. Televisi, internet, dan bahasa baru yang

penuh singkatan telah merusak akar budaya mereka.

Arif lahir dari keluarga dalang wayang. Ayahnya, Pak Dalang Suroso, adalah maestro yang bisa membuat
penonton menangis atau tertawa hanya dengan gerakan tangan dan suara yang keluar dari mulut. “Wayang itu
bahasa,” kata ayah suatu malam, saat mereka duduk di beranda rumah kayu tua. “Bahasa yang tidak perlu ikut
kata-kata tertulis, tapi hidup dalam gerak dan suara. Jika bahasa hilang, budaya pun hilang.”
Arif mengangguk, meski hatinya gelisah. Ia baru saja kembali dari Jakarta, tempat ia kuliah di universitas. Di
sana, ia belajar bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahkan bahasa pemrograman komputer. Tapi setiap kali dia
pulang, dia merasa seperti orang asing di desanya sendiri. Bahasa Jawa yang ia gunakan sehari-hari terasa
kaku, penuh dengan kata-kata yang sudah jarang didengar. “Kowe” dan “kowe” diganti dengan “kamu” yang
datar. Tradisi ngobrol santai di warung kopi digantikan oleh percakapan di grup WhatsApp, penuh emoji dan

singkatan seperti “LOL” dan “BRB”.

Suatu hari, Arif mendapat tugas dari universitasnya: membuat proyek akhir tentang pelestarian bahasa daerah.
Ia memutuskan untuk menggabungkan passionnya dengan tugas itu. Ia akan membuat wayang kulit modern,
yang menggabungkan cerita klasik dengan bahasa kontemporer. Tapi tantangannya besar. Bagaimana cara
membuat wayang yang bisa menarik generasi muda, yang lebih suka TikTok daripada dalang tua?
Arif mulai dengan mengumpulkan bahan. Ia pergi ke pasar tradisional, tempat pedagang menggunakan bahasa
Jawa kromo inggil—bahasa halus untuk menghormati pembeli. “Punapa kersane Bapak?” tanya seorang
pedagang tua, sambil menawarkan batik bermotif wayang. Arif tersenyum, tapi dia tahu, bahasa itu sedang
punah. Anak-anak muda lebih menyukai bahasa gaul, campuran Indonesia, Inggris, dan bahasa gaul lokal.
Di rumah, Arif duduk di depan layar komputer, mencoba menulis skenario wayang. Ia ingin cerita tentang
seorang pemuda yang kehilangan bahasa ibunya, lalu dipastikan kembali melalui petualangan. Tapi kata-kata
terasa sulit. Bahasa Jawa yang ia pelajari dari ayahnya penuh dengan kiasan dan metafora. “Gusti Allah” bukan
sekadar Tuhan, melainkan simbol keadilan dan kebijaksanaan. Bagaimana ia bisa menerjemahkannya ke

dalam bahasa yang dapat dipahami anak muda?

Malam itu, Arif bermimpi. Ia melihat wayang-wayang hidup, berbicara dalam bahasa yang campur aduk. Ada
tokoh Rama yang berbicara bahasa Inggris, Sinta yang menggunakan emoji, dan Hanuman yang berbicara
bahasa Jawa kuno. Mimpi itu membuatnya terbangun keringat. “Ini pertanda,” gumamnya. Ia harus

menciptakan sesuatu yang baru, tapi tetap menghormati yang lama.

Keesokan harinya, Arif mengunjungi kakeknya, Ki Dalang Prawiro, yang tinggal di rumah tua di tepi sungai.
Kakeknya, meski sudah tua, masih lincah. “Arif, bahasa itu seperti sungai,” kata kakeknya sambil mengukir
wayang baru. “Ia mengalir, berubah, tapi akarnya tetap. Jika kau memaksa sungai berhenti, ia akan kering.

Begitu pula budayanya.”

Arif mendengarkan dengan saksama. Ia mulai memahami. Ia tidak hanya membuat wayang, tapi juga menjaga
bahasa. Ia memutuskan untuk membuat pertunjukan wayang interaktif. Penonton bisa ikut serta melalui
aplikasi, menggunakan bahasa mereka sendiri. Tapi intinya tetap: cerita tentang pelestarian budaya.
Proyeknya dimulai. Arif mengumpulkan teman-teman dari desa: ada yang bisa nyanyi tembang Jawa, ada yang
ahli gamelan. Ia juga seorang pelajar dari Jakarta, yang bisa membantu dengan teknologi. Mereka membuat
aplikasi sederhana: penonton bisa memilih bahasa—Jawa, Indonesia, atau Inggris—dan wayang akan

menyesuaikan dialog.

Pertunjukan pertama diadakan di balai desa. Penonton datang dari berbagai usia. Ada nenek-nenek yang
duduk lesehan, ada anak muda dengan ponsel di tangan. Arif, sebagai dalang, memulai dengan salam

tradisional: “Sugeng dalu, para tamu agung.”

Cerita dimulai. Tokoh utama adalah seorang pemuda bernama Jaka, yang pergi ke kota dan lupa bahasa
ibunya. Ia bertemu dengan roh leluhur yang mengajarinya kembali. Dialog campur: Jaka bicara bahasa gaul,

roh bicara Jawa kuno. Penonton tertawa, tapi juga terharu.

Di tengah pertunjukan, ada momen ajaib. Seorang anak kecil, yang biasanya diam, tiba-tiba ikut bicara dalam
bahasa Jawa. “Kulo tresno karo basa Jawa,” katanya. Semuanya bisa dibayangkan. Bahasa itu hidup kembali,

meski sebentar.

Usai pertunjukan, Arif mendapat pujian. Tapi dia tahu, ini baru awal. Ia harus menyebarkan ini lebih luas. Ia
mengunggah video ke YouTube, dengan subtitle dalam berbagai bahasa. Ribuan orang nonton, dari Indonesia

hingga luar negeri.

Namun, tantangan datang. Ada yang mengkritik: “Ini bukan wayang asli!” Ada yang bilang, “Bahasa Jawa itu
kuno, kenapa dipertahankan?” Arif tidak patah semangat. Ia menjawab, “Budaya bukan museum. Ia hidup,

berubah, tapi tetap punya akar.”

Arif terus berkreasi. Ia membuat workshop di sekolah-sekolah, mengajari anak-anak bahasa Jawa melalui lagu
dan permainan. Ia berkolaborasi dengan seniman dari daerah lain, seperti Bali dan Sumatra, untuk pertukaran

budaya. Bahasa mereka berbeda, tapi pesan sama: jaga identitas.

Suatu hari, Arif mendapat undangan dari festival budaya internasional di Yogyakarta. Ia akan tampil di sana.
Persiapannya intensif. Ia menambah elemen baru: hologram wayang yang berinteraksi dengan penonton.
Bahasa digunakan sebagai alat utama—penonton bisa “berbicara” dengan wayang melalui VR.
Festival itu sukses besar. Arif mendapat penghargaan. Tapi yang lebih penting, ia melihat generasi muda mulai

tertarik. Mereka bukan hanya menonton, tapi ikut belajar bahasa daerah.

Di akhir cerita, Arif pulang ke desa. Ia duduk di beranda, seperti dulu. Ayahnya sudah tiada, tapi rohnya hidup
dalam wayang. Arif tahu, bahasa dan budaya bukan milik masa lalu. Dia milik masa depan. Dan ia, Arif, adalah

penjaga jembatan itu.
Akhir Cerita

(Catatan: Cerpen ini saya buat sendiri berdasarkan pengalaman dan imajinasi pribadi. Tema bahasa dan
budaya saya angkat melalui kisah pelestarian wayang kulit, yang merupakan bagian dari budaya Jawa. Tapi

ingat, ini karya asli saya, bukan dari AI atau sumber lain.)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori