Penulis : Rahma Andini
Sore itu, matahari mulai menari nari di ujung barat. Langit mulai menjingga. Membuat Aksa kembali
bersemangat, kembali hidup setelah diam dalam catatan Budaya, mata kuliahnya. Aksa salah satu
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gajah Mada, dan seorang sahabat dekatnya yang
bernama Risa yang juga mahasiswa FIB UGM. Mereka bersahabat dengan baik. Mereka sama-sama
menyukai Budaya Indonesia dan Sejarah.
Hari hampir berakhir, langit semakin menjingga. Aksa bergegas melangkah dengan lelahnya untuk
menemui Risa, sahabatnya itu.
Di sekitar kampus ternama di Kota Yogyakarta itu, Aksa melihat Risa di antara jingganya langit. Ia
mendatangi Risa yang sedang menatap sisa awan jingga itu, dengan memeluk kedua lututnya. Sembari
duduk lesehan di taman.
“Hai, Risa! Bagaimana hari ini?” tegur Aksa.
Risa terdiam, dengan tatapan kosong yang memandang langit yang jingga itu.
“Risa?” Tegur Aksa kembali, sembari menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Risa.
“Ih, Aksa! Kaget Tahu!” sahut Risa.
“Hahahaha, maafkan. Lagian, kenapa kamu bengong, sih?” Ucap Aksa, sembari persiapan duduk. “Aku
sangat takjub dengan ciptaan Tuhan. Rasanya, capekku hilang karena melihat ini.” Timbalnya.
“Humm, iya juga. Kok bisa ya, seindah ini?” Ucap Aksa, sambil kedua bola matanya itu ikut menatap
langit.
Angin sepoi menyapa tubuh mereka, hari pun segera berakhir. Aksa dan Risa, berjalan menuju parkiran
motor.
“Sa, kamu pulang sama siapa?” Tanya Aksa, sembari memegang tali tas ranselnya itu. “Hmm, kayaknya
pake ojol aja, deh. Tapi, aku lagi malas pulang.” Jawab Risa dengan nada yang memelas.
“Ohh, begitu” Karena kamu lagi malas pulang, apakah kamu mau temani aku menonton pertunjukan
Ramayana Ballet di Prambanan?” Tanya Aksa kembali.
“IH IYA MAU, AYOO.” jawab Risa dengan nada yang bersemangat.
“Okee, ayo gas.” jawab Aksa, sambil menyalakan kendaraannya.
Mereka menelusuri gelapnya Kota Istimewa itu, melewati Tugu yang menjadi saksi sejarah berabad-abad.
Menerobos kemacetan. Sampai akhirnya, tiba di Candi Prambanan. Candi itu terlihat anggun, megah,
disertai dengan suara gamelan yang sedang dimainkan.
“Lihatlah Candi Prambanan itu, terlihat megah sekali ya, Aksa?” ucap Risa. Sembari melepas helm. Aksa
yang mendengar itu, sembari memarkirkan kendaraannya, ia tersenyum dan berkata “iya, Sa. Apalagi, ada
bulan purnama tepat di atas candinya. Seru, sih malam ini.” Jawabnya sambil menyimpan helm.
Aksa dan Risa, berjalan mencari tempat duduk yang nyaman. Sampailah mereka menemukan tempat
duduk yang cocok untuk menonton pertunjukan Ramayana Ballet. Mereka duduk berdua, menikmati alur
cerita, ditemani angin sepoi-sepoi Jogja, dan bulan Purnama yang menerangi mereka. Musik-musik
gamelan mulai dimainkan, dan pertunjukan dimulai.
Di bawah Purnama, dan megahnya Prambanan. Dua jiwa duduk berdua di antara ramainya penonton.
Seakan akan, Prambanan membuat mereka semakin cinta dengan Budaya.
Saat pertunjukan sampai di mana Sinta diculik oleh Rahwana, saat Rahwana menjelma sebagaimana
Brahmana tua untuk menipu Sinta agar keluar dari lingkaran magis yang dibuat oleh Lesmana, adik
Rama. Aksa, tiba-tiba berbicara “Sa, lihat deh. Betapa Rahwana mencintai Sinta. Ia sampai menjelma
menjadi Brahmana tua, hahaha. Apakah aku harus menjelma seperti Rahwana agar aku bisa menculik
dosen pembimbingku dan aku bisa lulus tahun ini? Hahaha.” Ucapnya sambil tertawa pelan.
“Hahahah, bisa aja kamu.” Sahut Risa. “Oh, ya. Kalau kamu lulus tahun ini apakah kamu mau
meninggalkan kota ini? Atau ingin menetap di sini selamanya? Seperti orang orang yang ingin hidup dan
menetap di Jogja.” Tanya Risa, sembari menikmati cemilannya yang ia beli di Supermarket dekat Candi.
“Ah, sudahlah. Nanti aku jawab pertanyaan itu setelah pertunjukan ini selesai.” Jawab Aksa sembari
melihat dengan fokus pertunjukan itu.
Saat pertunjukan itu selesai, Risa menagih janji Aksa itu. “Aksa, kau masih berhutang jawab padaku
tentang pertanyaan tadi. Bagaimana Aksa?” Tanya Risa kembali dengan nada penuh penasaran, sembari
ia memegang tali tas ranselnya itu. “Iyo, aku jawab sak iki.” jawab Aksa. “Wes dadi wong jowo to mas?”
Gumam Risa sembari tertawa kecil. “Hahahaha iyo.. bagiku Jogja bukan hanya Kota istimewa dan UGM.
Jogja adalah segalanya, siapapun yang pernah menginjakkan kakinya di sini, pasti ia mempunyai
keinginan untuk singgah di sini walau sebentar, ataupun menetap menjadi orang Jogja. Jadi, sepertinya
aku akan menetap di sini.” Jawabnya. Aksa memang bukan asli orang Jawa, ia hanya memiliki keturunan
Jawa dari Ayahnya yang sekarang tinggal di Bandung. Jawab Aksa sambil berjalan bersama menuju
parkiran.
Aksa terhenti langkahnya, ia bertanya hal yang sama pada Risa. “Kalau kamu? Akankan menetap di
Jogja, ataukah berkelana ke tempat lain?” Tanya Aksa sembari memasang wajah penasaran, dengan alis
yang terangkat sedikit. “Hmm.. aku akan pergi ke tempat lain. Tepatnya, di Bogor.” Jawab Risa dengan
nada yang sedikit sedih. Aksa terdiam, tak ada jawab. ia kembali berjalan menuju kendaraannya.
Jogja malam yang dingin, tentram. Angin malam menyapa tubuh mereka. Lampu lampu dan cahaya
purnama menerangi jalannya. Aksa mengantarkan sahabatnya itu ke Rumahnya, memastikan ia selamat
dan aman. Saat hampir sampai Rumah sahabatnya, Aksa mengulang pertanyaan yang sama kembali. Saat
ia mematikan motornya terlebih dahulu. “Sa… hummm .. apakah kamu yakin akan meninggalkan kota
ini?” Tanya ia sembari melepas helmnya dan menghembuskan napas.
Risa melepas helmnya, ia menjawab tanya Aksa itu “humm, iyaa. Kenapa memangnya?” Tanya Risa lagi.
“A-aku .. a-aku..” ucap Aksa dengan suara yang gugup. “Aku kenapa, Aksa?” Tanya Risa kembali. “Huft..
Aku t-takut tak ada seseorang yang bisa aku ajak menonton pertunjukan di Prambanan, seperti kamu.
Kalau kamu ke Bogor, siapa yang temani aku untuk menonton Rama dan Rahwana yang berkelahi? Dan
menonton Sinta mengucapkan Sumpah Obong itu? Ucapnya, sembari menunduk tak percaya diri. Mereka
berdiam, tak ada yang berbicara, tak ada yang bersuara. Tiba-tiba, petir bergemuruh menyapa telinga
mereka. “Gluduk…!!” Mereka berdua, langsung menutupi kedua telinganya. Tak lama, hujan pun turun.
Aksa bergegas memakai helmnya dan menyalakan motornya itu. “Sa, maaf, ya. Terima Kasih untuk hari
ini. Aku pulang dulu, takutnya hujan semakin besar.” Ucapnya sembari tergesa-gesa. “Iyaa, Aksa! Hati-
hati. Terima Kasih juga, ya!” Jawab Risa. Dan Risa pun masuk ke dalam rumahnya.
Di perjalanan, Aksa mengendarai kendaraannya dengan cepat. Sembari ia berpikir siapa nanti yang akan
menemani ia menonton pertunjukan favoritnya di Prambanan itu selain Risa. Hujan tak hanya turun dari
langit, tapi turun di hatinya. Tak lama dari itu, perlahan kendaraannya pelan. Dan ia sampai di Rumah.
Sesampainya di rumah, ia berbaring di pulau pulau kecil kamarnya. Ia merenung ia teringat akan tugas
akhirnya itu. Ia memikirkan tentang pertunjukan tadi. Dan, akhirnya ia berhasil menemukan judul untuk
tugas akhirnya. Lalu, ia mengambil Laptop nya, dan menulis.
“Pengaruh Seseorang dalam Meningkatkan Kecintaan Terhadap Budaya Indonesia.” Ia menulis tugasnya
ditemani dengan suara hujan yang jatuh di atap kamarnya, sembari minum Wedang Jahe. Jarinya menari
nari di atas mesin ketik dengan cepat. Seolah olah sudah tersusun di kepalanya.
Seperti para penari yang menari dengan lincah saat pertunjukan itu dengan cepat.
Keesokan harinya, ia kembali menemui Risa. Bergegas menuju taman sekitar kampus, tempat biasa
mereka bertemu dan melihat senja bersama. “Risaa!!” Aksa berteriak semangat, sambil berlari menuju
arah Risa yang sedang duduk memeluk lututnya, ditemani dengan Es Kopi Susu favoritnya. Risa kaget, ia
menengok ke belakang. Terlihat Aksa sedang berlari, penuh senyum dan bersemangat. “Ngopo, Aksa?”
Tanya Risa dengan nada yang semangat dan penasaran. “Aku wes nemu judul untuk tugas akhirku, dan
sudah disetujui oleh pembimbing.” Ucapnya dengan penuh dan sumringah. “WAHH!! apa itu judulnya
kalau aku boleh tahu?” jawab Risa sembari menatap kedua bola mata Aksa. “Ada, deh.” Jawab Aksa
dengan nada tengil. “Opo lah mase.” sahut Risa. “Lha, wes dadi wong jowo ta, Sa? Mbak mbak Jowo,
hahahha.” ucap Aksa dengan nada meledek. “Apalah, nggak yo.” sahut Risa. Aksa menghela napas,
sembari menikmati Wedang Jahe favorit yang ia beli di kantin Kampus. Matanya menatap jingganya
langit, sama seperti Risa. Aksa kembali membuang napas “huft.. kamu tetap mau jadi ke Bogor, ta?”
Tanya Aksa dengan nada yang ingin meyakinkan. “Iyoo.. ngopo?” Jawab Risa. “A-aku bingung, sopo
nanti yang ngancani aku nonton pertunjukan itu?” Ucapnya sembari nada memelas. Risa menghela napas,
ia meminum es kopi susu favoritnya yang sudah mencair. “Huft.. maafkan aku, Aksa. Tapi, bagaimana
lagi. Besok pun aku akan pergi ke Bogor menemui orang tuaku, sekalian berlibur juga. Sebelum 2 bulan
lagi, aku wisuda.” Jawab Risa, dengan nada yang lembut dan sedikit sedih.
Matahari sudah terbenam, di antara hiruk pikuk Jogja. Aksa terdiam, kebingungan. Tatapannya kosong.
Bukan karena cinta, tapi, teman. Aksa menawari Risa untuk pulang bersama, sebelum Risa ke Bogor, dan
tak tahu akan bertemu lagi. ” Kamu, mau aku antar pulang?” Aksa bertanya.
Risa terdiam, dan terhenti langkahnya. “Nggak usah, rapopo aku pulang sendiri aja.” Ucap Risa dengan
nada cuek. Aksa terdian sebentar, ia menanyakan kembali untuk memastikan “Sa.. biar aku antar, ya.”
Ucap Aksa dengan nada yang membujuk. Akhirnya, Risa menyetujui. Aksa berjalan bersama Risa,
mereka memegang tali tas ranselnya, dengan Risa yang masih memegang Es Kopi Susu favoritnya. Aksa
mengendarai motornya dengan pelan, tak seperti biasanya. Mulutnya seakan akan terkunci, entah oleh
siapa. Kata yang ingin diutarakan, tertahan dalam tenggorokan. Lalu, Aksa memberanikan diri “Sa, matur
nuwun nggeh, wes dadi koncone terbaikku, hehe.” Ucap Aksa dengan nada yang malu, sembari ia
mengendarai kendaraannya. “Nggeh, sami-sami. Tumben kamu ngomong kayak gitu?” Ucap Risa sambil
memukul punggung Aksa. Aksa terdiam sejenak, lalu ia menjawab “nggak papa, memangnya kenapa?”
tanya Aksa dengan nada gugup.
Risa tak kunjung menjawab Aksa, ia hanya fokus melihat lampu, dan Tugu Jogja yang dilewati,
menikmati suasana Jogja di malam hari, sebelum ia pergi ke Bogor esok hari.
Tak lama dari itu, sampailah di tempat Risa tinggal. Aksa mematikan motornya dan melepas helmnya.
Dan mengucapkan “Matur nuwun nggeh, Sa. Wes dadi koncone terbaikku. Ngapunten, kalau aku ada
salah sama kamu.” Dengan nada yang lirih. “Iyoo, nggeh.. sami-sami. Nggak usah sedih kayak gitu, kita
masih bisa temenan lewat pesan dan media sosial.” Ucap Risa, dengan nada cerianya. “Hehe” timbal
Aksa, ia tak tahu bicara apalagi. Risa membuka pintu dengan sisa energinya. Ia tak sabar tuk berbaring di
pulau pulau kecil kamarnya. Aksa menyalakan motor, dan kembali ke perjalanannya untuk pulang.
Di jalanan, sembari mengendarai kendaraannya, tatapan Aksa kosong, ia mungkin kehilangan seseorang
yang membuatnya semakin semangat dan mencintai Budaya Indonesia, dan bentuk akulturasi budayanya.
Ia sadar, bahwa pertunjukan Ramayana, tak hanya sebuah pertunjukan. Banyak makna yang bisa
diinterpretasikan bagi setiap orang. Bagi Aksa, Risa adalah sahabat sekaligus pemicu rasa cinta Aksa
terhadap Budaya Indonesia. Tarian, gamelan, dan bahasa. Sama seperti dalam pertunjukan itu. Shinta
berkelana dalam penjara Rahwana selama 14 tahun. Membuat Rahwana tahu arti cinta dan perjuangan.
Sama seperti ia, mahasiswa FIB UGM yang harus melestarikan budaya, mengenalkan, dan mewariskan
budayanya.