Penulis : THASYA EMILYA RAHMADANI
Langit Bandung pada Minggu pagi itu membentang biru jernih di atas keriuhan Car Free Day
Dago. Di antara ribuan manusia, berjalanlah dua sosok kontras: Gayatri, mahasiswi Sastra
Daerah yang mengenakan syal batik mega mendung, dan Rendi, mahasiswa Desain Komunikasi
Visual (DKV) dengan earphone yang menyumpal telinganya.
“Ren, lihat!” Gayatri menunjuk sekelompok bapak-bapak yang bermain congklak dan
sorodot gaplok. “Lucu, ya? Itu kaulinan urang lembur.”
“Lihat apa? Oh, itu.” Rendi melirik sekilas. “Ya, standar. Biasa aja,” jawabnya, lebih fokus
pada notifikasi ponselnya. “Ayo cari bubble tea. Haus.”
Bagi Gayatri, Bandung adalah rumah jiwa Sunda-nya. Ia tak segan menyapa penjual surabi
tua dengan basa Sunda lemes, “Mang, punten, nyuhunkeun surabina.” Baginya, bahasa adalah
jembatan rasa hormat. Bagi Rendi, Bandung adalah kanvas global. Ia fasih berbahasa Inggris,
mengikuti tren Seoul, dan menganggap bahasa Sunda itu kuno, sebuah langkah mundur dari
globalisasi.
Langkah mereka terhenti di Taman Cikapayang. Alunan kecapi yang dimodifikasi dengan
loop station dan beat elektronik menarik perhatian mereka. Di sana duduk Doni, seorang
seniman digital dan musisi eksperimental, sedang asyik memetik senar kecapi.
“Nah, kalau yang ini baru keren!” mata Rendi berbinar, langsung merekam.
“Kang Doni! Keren pisan!” sapa Gayatri.
Doni tertawa. “Budaya itu dinamis, Bro. Gak statis di museum. Harus bisa ngobrol sama
zaman sekarang,” katanya. “Tradisi itu fondasi, tapi bangunannya harus modern. Biar kita yang
muda mau tinggal di dalamnya.” Perkataan Doni menampar Rendi. Ini ‘akar’ yang sama dengan
yang Gayatri bicarakan, tapi Doni membuatnya terdengar keren.
Doni lalu mengundang mereka ke acara kampus minggu depan, “Gelar Rupa & Swara
Pasundan Modern”. Gayatri antusias, sementara Rendi beralasan ada deadline.
Minggu itu menjadi titik balik bagi Rendi. Di kelas lintas jurusan, ia terpaksa mengikuti
kuliah Pak Jaya, seorang dosen Linguistik yang bijaksana. Pak Jaya tidak sedang mengajar
fonologi, melainkan membuka diskusi tentang “Darurat Bahasa”.
“Berapa banyak dari kita yang merasa lebih ‘bergengsi’ saat menggunakan istilah asing?”
tanya Pak Jaya dengan suara baritonnya yang tenang. “Berapa banyak yang merasa ‘keren’ saat
berbicara gado-gado? Saudara-saudara, Bahasa Indonesia adalah hasil Sumpah Pemuda. Bahasa
daerah adalah rahimnya. Saat kita meremehkan bahasa kita sendiri, kita sedang meremehkan
sejarah kita.” Rendi, yang duduk di belakang, merasa tersindir.
Beberapa hari kemudian, ia kembali “terjebak” dalam sebuah seminar umum oleh Bu Ratna,
seorang sejarawan dan budayawan Sunda yang arif. Bu Ratna tidak berpidato, beliau bercerita
dengan lembut. Beliau mengisahkan filosofi Lutung Kasarung dan sejarah Konferensi Asia-
Afrika 1955.
“Para delegasi disambut dengan kesenian Sunda. Dengan keramahan someah hade ka
semah,” tutur Bu Ratna. “Para pemimpin kita sadar, budaya dan bahasa adalah alat diplomasi
terkuat. Kita adalah pewaris nilai Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Jangan sampai kita menjadi
asing di rumah kita sendiri.”
Saat seminar usai, kata-kata Bu Ratna—”asing di rumah kita sendiri”—terus terngiang. Ia
melihat Gayatri antusias berdiskusi dengan Bu Ratna, sementara di pintu keluar, Doni sedang
ditepuk pundaknya oleh Pak Jaya. Rendi merasa… kecil. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa
penasaran. Ia membuka ponselnya, mencari info tentang acara “Gelar Rupa & Swara” yang
brosurnya ia abaikan.
Pada hari Sabtu, alih-alih pergi ke gig musik, Rendi memarkir motornya di pelataran kampus.
“Aku ke sini cuma buat lihat pameran DKV-nya,” ia meyakinkan diri.
Aula itu telah disulap. Jauh dari kesan “kuno”. Di pintu masuk, ada instalasi bambu interaktif
yang mengeluarkan nada pentatonis saat disentuh. Rendi tertegun. Ini… keren. Ia langsung
menuju area DKV. Matanya tertumbuk pada satu karya di sudut ramai: “Tipografi Kinetik
Aksara Sunda”. Di layar besar, aksara Sunda—yang Rendi sama sekali tidak mengerti—menari,
bertransformasi dari naskah lontar kuno menjadi font 3D chrome modern, diiringi musik etnik-
futuristik racikan Doni. Rendi merasakan campuran kekaguman dan iri hati. Ia, yang bangga
akan pengetahuannya soal Bauhaus dan Helvetica, merasa portofolionya dangkal. Karya di
depannya ini memiliki ‘akar’.
Dengan perasaan campur aduk, ia beranjak dan menemukan booth Literasi. Di sana, berdiri
Gayatri, mengenakan kebaya kutubaru modern, tampak bercahaya di antara naskah-naskah kuno
digital.
“Eh, Rendi! Akhirnya datang juga!” sapa Gayatri tulus. “Iya, gokil,” Rendi canggung. “Yang
tipografi tadi… gila, sih.” “Itu, kan? Keren banget!” mata Gayatri berbinar. “Itu membuktikan
Aksara Sunda gak kalah estetik dari Kanji.”
Pandangan Rendi jatuh pada selebaran di meja. Di depannya tercetak guratan Aksara Sunda.
Ia mencoba menerka. Nihil. Itu hanya coretan indah. Di sampingnya, seorang gadis SMA
mengeja pelan, “Ki-dung… Ja-gat… Kidung Jagat!”
Wajah Rendi memanas. Ia, mahasiswa DKV semester lima, kalah oleh anak SMA. Ia buta
huruf. Di tanah kelahirannya sendiri.
“Ini… bacanya apa?” Rendi akhirnya bertanya pada Gayatri, menunjuk baris pertama aksara.
Gayatri menatapnya, senyumnya melembut. “Oh, ini,” katanya ramah. “Ini ‘Nga-rak-sa…
Ngaraksa… Bu-da-ya’. Ngaraksa Budaya. Menjaga Budaya.”
Rendi terdiam. Tiga kata itu meninju ulu hatinya.
“Tidak ada kata terlambat untuk kembali ke akar, Nak Rendi.” Suara bariton Pak Jaya
membuatnya menoleh. Dosen bijak itu berdiri di sampingnya. “Anda belum diperkenalkan. Sama
seperti kalkulus, Anda harus belajar aljabarnya dulu. Bahasa dan aksara adalah aljabar dari
sebuah peradaban.”
Tak jauh, Bu Ratna menghampiri, ditemani Doni. “Lihat sekelilingmu, Nak Rendi,” kata Bu
Ratna lembut. “Semua ini bukan sekadar pameran. Ini upaya kami untuk
ngawangkong—berdialog—dengan leluhur, menggunakan bahasa kalian.”
Doni menepuk bahu Rendi. “Fondasi, Bro. Desain lo bisa jadi lebih ‘Bandung’ dan lebih
‘global’ di saat yang sama, kalau lo ngerti akarnya.”
Rendi memandangi empat orang di depannya: Gayatri si pelestari, Doni si inovator, Pak Jaya
si penjaga kaidah, dan Bu Ratna si penutur hikmah. Mereka adalah ekosistem. Dan ia… ada di
luar. Semua keacuhannya runtuh.
Ia berbalik menghadap Gayatri. “Gay,” katanya mantap. “Aku… aku gak bisa bacanya. Dan
aku malu. Aku mau belajar. Serius. Dari awal. Dari nol. Kamu… kamu mau ajarin aku?”
Hening sejenak. Pak Jaya dan Bu Ratna tersenyum penuh arti. Doni mengacungkan jempol.
Senyum Gayatri merekah. “Tentu aja, Ren. Hayu atuh! Kita mulai besok.”
“Besok” adalah hari Senin di perpustakaan. Gayatri datang dengan buku tulis lusuh, Rendi
dengan notebook mahal. Pelajaran dimulai dari Ngalagena—aksara dasar. Jam pertama adalah
siksaan. Lidah Rendi kaku membedakan ‘e’, ‘eu’, dan ‘é’. Tulisannya seperti cakar ayam. “Ini lebih
susah dari coding javascript,” desahnya.
“Itu karena kamu mikir pakai logika font. Coba rasain pakai hati,” kata Gayatri.
Proses belajar itu intensif. Gayatri “memaksa” Rendi ikut dalam kunjungan lapangan.
Mereka ke Saung Angklung Udjo, belajar filosofi bambu (handap asor). Mereka ke Gedung
Merdeka, di mana Bu Ratna menjelaskan bagaimana arsitek Belanda, Wolff Schoemaker,
“berdialog” dengan motif lokal.
Pelajaran bahasa berlanjut. Rendi frustrasi dengan Undak-usuk Basa (tingkatan bahasa)
setelah salah menggunakan kata ‘maneh’ (kamu, kasar) ke pelayan kantin. “Ini ribet banget, Gay!
Gak efisien!”
“Bukan ribet, Ren. Ini soal rasa,” Gayatri menjelaskan sabar. “Ini cara kita ngajénan
(menghargai) orang.”
Rendi merenung. Ia memberanikan diri berkonsultasi dengan Pak Jaya. “Pak, kenapa harus
serumit itu?” Pak Jaya tersenyum. “Nak Rendi, efisiensi adalah bahasa mesin. Rasa adalah
bahasa manusia. Dalam bahasa kita, rasa ‘cinta’ itu ada puluhan. Ada ‘asih’, ‘deudeuh’, ‘nyaah’.
Bahasa kita tidak efisien secara teknis, tapi sangat efisien secara emosional. Ia presisi dalam
menjabarkan rasa.”
Keluar dari ruangan itu, kepala Rendi terasa penuh. Semuanya terhubung. Undak-usuk adalah
user experience. Aksara adalah visual identity. Cerita Bu Ratna adalah brand story.
Malam itu, Rendi membuka laptopnya. Ia menghapus konsep proyek akhir semesternya. Ia
mengetik judul baru: “NGARAKSA: Sebuah Identitas Visual untuk Warisan Kuliner Sunda.” Ia
ingin membuat branding untuk jajanan pasar—putu, kelepon, awug—agar ‘naik kelas’. Ia
membuat sketsa logo, bukan lagi ala Skandinavia, tapi terinspirasi dari aksara Sunda ‘Ga’ (untuk
Galih, inti) yang meliuk.
Ia menemui Doni. “Kang, aku punya konsep branding. Tapi aku butuh… suara.” Doni melihat
konsep Rendi. “Gila, Ren! Ini… ini dalem! Sejak kapan lo jadi ‘gini’?” “Sejak gue sadar gue buta
huruf, Kang,” jawab Rendi jujur. “Gue suka,” Doni menyeringai. “Gimana kalau kita bikin sound
logo pakai suara celempung bambu, di-mix sama ambience modern?”
Proyek itu menjadi sebuah pernyataan. Menjelang presentasi, Rendi mengajak Gayatri makan
surabi. Kali ini, Rendi yang memesan. “Mang, punten,” katanya, suaranya sedikit bergetar tapi
jelas. “Bade pesen surabina, dua, nya.”
Si Mang penjual mendongak, lalu tersenyum lebar. “Oh, mangga, Asep! Tumben si Asep
tiasa nyarios Sunda euy!”
Rendi tertawa. Itu bukan sekadar transaksi. Itu koneksi. Ia kembali ke meja. Gayatri
menatapnya bangga, matanya berkaca-kaca. “Selamat,” bisiknya. “Kamu sudah gak ‘asing’ lagi.”
Hari presentasi akhir tiba. Ruang auditorium terasa dingin. Dosen pengampu, Pak Herman,
seorang praktisi desain yang kritis, duduk di depan. Di barisan tengah, hadir trio “mentor” Rendi:
Pak Jaya, Bu Ratna, Doni, dan di samping mereka, Gayatri.
“Selanjutnya, Rendi Pratama. ‘NGARAKSA’,” panggil Pak Herman.
Rendi berjalan ke podium. Layar hitam. Ia menangkupkan kedua tangan. “Sampurasun,”
ucapnya, jelas dan tenang. Ruangan hening. Teman-temannya melongo. “Rampes,” jawab lirih
Bu Ratna dan Pak Jaya.
“Nama saya Rendi Pratama,” lanjutnya. “Hari ini, saya tidak akan mempresentasikan sebuah
brand. Saya akan menceritakan sebuah perjalanan pulang.”
Ia bercerita tentang pemuda yang “buta huruf” di tanahnya sendiri. Ia menampilkan judulnya:
NGARAKSA. “Artinya menjaga,” jelas Rendi. “Bukan seperti di museum. Tapi menjaga seperti
kita menjaga api.”
Ia membedah konsepnya. Logo dari aksara ‘Ga’ (Galih/inti). Palet warna ‘Héjo Daun’ dan
‘Coklat Gula’. Lalu, ia memutar motion graphic yang ia kerjakan bersama Doni. Logo ‘Ga’ itu
‘tumbuh’ diiringi sound logo celempung bambu yang modern.
Ia menampilkan kemasan box ramah lingkungan dengan tekstur anyaman. “Tapi kemasan
adalah media cerita,” katanya. Ia menyorot bagian copywriting. Di satu sisi: “RASA TI
BAHEULA, CARA KIWARI.” (Rasa dari Jaman Dulu, Cara Masa Kini). Di sisi lain, paribasa
Sunda dari Gayatri: “Ulah ngukur baju sasereg awak.” (Jangan menilai sesuatu hanya dari
penampilan luarnya).
“Ini brand philosophy kita,” kata Rendi. “Sebagai penutup,” ia melirik Pak Jaya, “Dosen saya
berkata bahasa kita presisi menjabarkan ‘rasa’. Proyek ini upaya saya menerjemahkan ‘rasa’ itu ke
bahasa visual. Saya sadar, untuk menjadi global, kita tidak perlu menjadi ‘orang lain’. Kita hanya
perlu menjadi versi terbaik dari ‘diri sendiri’. Hatur nuhun.”
Hening.Lalu, satu orang bertepuk tangan. Doni. Disusul Pak Jaya, Bu Ratna, Gayatri, lalu
seluruh ruangan meledak dalam tepuk tangan. Pak Herman berdiri, berjalan mendekati Rendi.
“Rendi,” katanya, matanya berbinar. “Mahasiswa saya selalu berlomba membuat brand yang
‘paling New York’ atau ‘paling Tokyo’. Hari ini, kamu adalah yang pertama membuat brand yang
‘paling Bandung’. Dan ironisnya, ini karya paling ‘global’ dan orisinal yang pernah saya lihat. Ini
bukan A. Ini A+.”
Wajah Rendi memerah. Ia berhasil.
Satu jam kemudian, kelimanya berkumpul di warung kopi sederhana. “Gila, Ren! Lo kayak
kesurupan!” seru Doni. Bu Ratna tampak haru. “Saya tadi hampir menangis, Nak. Saat kamu
bilang ‘perjalanan pulang’. Leluhur kita pasti bangga.” “Dan penggunaan bahasa Anda,” Pak Jaya
menimpali. “Presisi. Kamu paham rasa-nya.”
Rendi menunduk. “Ini semua berkat Bapak, Ibu, Kang Doni… dan kamu, Gay. Kamu guru
terbaikku.” Gayatri tertawa. “Dan kamu murid terbaikku. Kamu ngajarin aku kalau ‘kuno’ itu
cuma masalah presentasi.”
Tiba-tiba, ponsel Rendi bergetar. Email dari Pak Herman. “Teman-teman,” kata Rendi,
matanya terbelalak. “Ada… seorang investor… dia tertarik untuk mendanai ‘NGARAKSA’. Dia
mau meeting minggu depan.”
Keheningan melanda meja, lalu pecah. “Serius?!” pekik Doni. “Ini… ini gila!” Rendi tertawa,
akhirnya lega. Pak Jaya terkekeh. “Lihat? Budaya yang dirawat, selalu punya nilai. Bukan hanya
filosofis, tapi juga ekonomis.”
“Ini baru permulaan, Bro!” Doni merangkul Rendi dan Gayatri. “Habis ‘NGARAKSA’ jalan,
kita bikin ‘Gelar Rupa & Swara’ tahun depan lebih gila lagi! Kita ambil alih Gedung Sate!” “Saya
bisa bantu kurasi naskahnya,” tawar Bu Ratna bersemangat. “Dan saya pastikan bahasanya
tertata baik,” tambah Pak Jaya.
Rendi memandang keempat orang di sekelilingnya. Sang Pelestari, Sang Penjaga Kaidah,
Sang Penutur Hikmah, dan Sang Inovator. Dan kini, dirinya, Sang Penerjemah Visual. Sebuah
harmoni yang sempurna.
Ia menoleh ke Gayatri, yang menatapnya dengan senyum terindah. Di tengah hiruk pikuk
Bandung, Rendi akhirnya menemukan apa yang ia cari. Bukan sekadar nilai atau proyek. Ia
menemukan rumah. Ia menemukan bahasanya. Dan dalam prosesnya, ia menemukan dirinya
sendiri.