Harta yang Memudar

Penulis : Reyhana Aurelia Az-Zahra

Tiit~ Tiit~ Tiit~
Orin mengangkat kepalanya yang berat dari meja, entah sudah berapa puluh jam dia
berusaha untuk menahan rasa kantuknya, entah sudah berapa puluh jam ia habiskan untuk
menunggu alat pendeteksi nya berbunyi. Tunggu, alat pendeteksi nya berbunyi? Lelaki itu
segera meraih sebuah benda yang mirip radio dua arah dengan sebuah layar disertai titik
merah yang berkedip-kedip di tengahnya.
Maniknya berbinar antusias. Akhirnya, titik lokasinya muncul.
Dengan sigap ia menuju kapsul terbang berwarna hitam yang mengambang tak jauh dari
meja komputernya tadi. Ruangan itu luas, seukuran dua lapangan basket. Lebih mirip
basement yang dipenuhi banyak teknologi muktahir.
Orin melompat ke dalam kapsulnya yang hanya seluas dua belas petak lantai, segera
menuju belakang kemudi. Benda lonjong itu berdesing pelan hingga akhirnya menghilang
dari basement tersebut, menuju titik merah yang baru saja ditemukan beberapa detik lalu.
Menuju sebuah dimensi lain.

•••
Dimensi J-678, Tahun 76890 (satu bulan yang lalu)
Orin, pemuda yang baru saja menginjak usia dua puluh satu tahun tepat pada satu minggu
yang lalu sedang sibuk mencari sesuatu yang disembunyikan diantara lembaran-lembaran
file kuno yang ia temukan di sebuah hutan terpencil. Aneh rasanya jika menemukan sebuah
file kuno yang memiliki bentuk fisik seperti pil kecil dan apabila diketuk muncul layar
hologram, itulah sebabnya petualang muda tersebut tertarik untuk membacanya, karena
pasti ada sesuatu yang disembunyikan hingga file itu di ‘buang’ di suatu tempat yang
terlupakan.
Mata dengan warna hijau tua layaknya daun pohon pinus, terpaku pada hologram, sibuk
berpindah dari kiri ke kanan. Suasana basement nya hening seperti biasa, layar komputer
nya yang banyak tidak pernah padam. Tapi itu bukan berarti pikiran Orin tenang, ada sejuta
pertanyaan di benaknya. Penemuan file kuno itu membangkitkan semangat dan rasa
penasaran nya sebagai seorang petualang antar-dimensi.
Tujuh jam terpaku, dia menemukan titik terang. Informasi itu tidak sampai satu halaman
penuh, walau dalam lima kalimat, detail yang dituliskan sangat berguna. Tertulis sebuah
judul bab tersebut disana: Dimensi ‘Bumi’, yang telah terlupakan.
Jarinya dengan cepat mengetik, menuliskan kode-kode untuk membuat sistem pendeteksi
yang dibantu informasi dari file kuno, teknologi pengetahuan, dan alat-alat lainnya.
Semuanya kemudian dialirkan ke dalam benda yang mirip seperti radio dua arah tersebut.

Dan disinilah dia sekarang, berada dalam kapsul terbang nya menuju dimensi lain yang
disebut ‘Bumi’.

•••

Orin menghembuskan nafas lega, sudah dua minggu lebih ia menjelajahi dimensi ‘Bumi’ ini.
Walau baru empat belas hari, dengan kapsulnya, pemuda itu bahkan sudah mengunjungi
setengah dari dimensi tersebut. Saat ini ia berada di salah satu kota pada salah satu wilayah
kekuasaan presidensial.
Orin menumpukan tangan kanannya ke lantai semen untuk bersandar, kakinya
bergelantungan, matanya sibuk memperhatikan kegiatan penduduk di bawah sana, angin
terasa lebih dingin sebab posisinya yang duduk di lantai atas sebuah gedung kosong,
rambut coklatnya dimainkan oleh sang pawana, walau matahari telah digantikan oleh sang
rembulan, keadaan kota masih ramai. Tak heran jika dimensi ini disebut ‘dimensi yang
terlupakan’, mau sejauh apapun teknologi mereka. Mereka masih terkalahkan oleh
dimensi-dimensi lain. Dan sepertinya mereka tidak tahu bahwa bukan hanya mereka yang
hidup di dunia ini.
Kapsul hitamnya parkir tak jauh dari tempat nya berada, masih di atap gedung yang sama.
Hanya saja kapsul itu ditutupi beberapa kardus dan barang lain agar tidak menarik
perhatian.
Wilayah ini menjadi salah satu kesukaannya dari setengah wilayah pada dimensi ‘Bumi’
karena memiliki banyak sekali pulau dan keragaman di tiap Prefektur nya. Orin
menengadah, cakrawala bersinar dengan indah oleh gemintang dan rembulan, seharusnya
itu menjadi malam yang damai, sebelum suara decitan pintu besi di belakangnya mengusik
ketenangan, menyiratkan ada sosok lain yang datang.
“S-Siapa kau?” Suara perempuan, nadanya bergetar. Orin bangkit dari duduknya, jarak
diantara mereka hanya lima langkah. Orin bisa mengetahui bahwa sosok di depannya ini
siap melawan jika ia melakukan sesuatu yang mencurigakan. Perempuan tersebut berambut
pendek seperti bocah laki-laki, dengan kaus putih lengan pendek dan celana pendek.
Tatapan matanya tajam walau bergetar karena tegang, tingginya tak lebih dari bahu Orin.
Pemuda itu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah sebelum ada kesalah pahaman
lebih dalam. “Aku bukan orang aneh, atau apapun yang kau pikirkan. Aku disini sebab
hanya tempat ini yang menurutku aman untuk menaruh barangku. Dan maaf karena
menempati wilayahmu tanpa izin.”
Sosok dengan rambut hitam pendek itu mengerutkan kening, pemuda ini punya logat
berbicara yang asing. Bukan hanya logat, bahkan model pakaian yang ia pakai tidak pernah
perempuan itu lihat sebelumnya.
“Kau pengelana?”
“Jika itu bagaimana penduduk disini menyebutnya, maka iya.”

“Bagaimana kau tahu ini wilayahku?”
“Jika kau pemilik gedung, seharusnya sejak tadi kau mengusirku.”
Perempuan tersebut masih menatap curiga sebelum menghela nafas, gerakan tubuhnya
menyiratkan waspadanya menurun, dia mengambil dua langkah maju sekaligus menutup
pintu besi di belakang nya. “Sudah berapa lama disini?”
Orin menurunkan kedua tangannya, Intonasi bicaranya berubah, lebih tenang dari
sebelumnya. “Tiga hari.”
Lawan bicaranya menatapnya dengan tatapan menyelidik, ”Kau memiliki keberanian untuk
beristirahat di sebuah atap gedung kosong pada kota yang baru kau jejaki?”
Orin mengedikkan bahu, “Aku terbiasa. Selama itu aman maka Aku akan memilihnya.”
Perempuan tersebut terlihat tidak puas dengan jawabannya, dia lalu mendengus pelan
sebelum pergi menuju pojok kiri, terdapat atap seng yang terpasang disana sekitar dua
puluh meter.
Orin terdiam sejenak, Bukankah disana ada kapsulku? Matanya melebar ketika ia baru
menyadari nya. Mulutnya terbuka, bersiap memberi tahu, “APA INI?!!” Terlambat.
Pemuda itu menghela nafas, ia lalu mendekatinya. “Itu kendaraanku”
Perempuan tersebut langsung menoleh, “K-Kendaraan? Bagaimana caranya kendaraan
bisa sampai di rooftop tak terpakai sebuah gedung tujuh lantai??!”
Orin menghela nafas lagi, Ini akan merepotkan.
•••

Manik coklat tersebut berbinar-binar antusias, sudah satu setengah jam Orin menjelaskan
segalanya. Tentang dirinya yang berasal dari dimensi lain, tentang bahwa bukan hanya ada
‘Bumi’ sebagai satu-satunya dimensi yang memiliki penduduk, dan tentang
teknologi-teknologi mutakhir dari tempat asalnya juga beberapa dimensi lain. Perempuan
tersebut sesekali menjadi keras kepala menyebut Orin sebagai ‘Alien’ karena bukan berasal
dari Bumi.
Dalam percakapan mereka, pemilik surai hitam pendek itu memperkenalkan dirinya sebagai
Khai serta baru menginjak usia sembilan belas tahun. Sesama pengelana, hanya saja dia
tak memiliki kendaraan maupun harta banyak, dia benar-benar berpindah dari satu tempat
ke tempat lain. Khai sendiri baru dua minggu tinggal di rooftop gedung kosong tersebut.
“Dari ceritamu, kau sepertinya lebih senang berada di tempat ini.” Khai menarik kesimpulan,
mereka sekarang berada di dalam kapsul hitam milik Orin, duduk berhadapan di captain
seat yang tersedia disana. Bagian dalam kapsul itu seperti campervan dengan warna
dominan putih tulang.

Awalnya Khai tidak percaya dengan cerita si pemuda asing, tapi setelah melihat ke dalam
kapsul dan mendengar semua hal dari Orin, dia mulai mempercayainya.
Orin mengangguk, ia mundur untuk menyandarkan punggung pada kursi yang ia duduki.
“Kau benar.”
Seperti terhipnotis, Khai mengikuti gerakan pemuda tersebut, menyandarkan punggung.
“Tapi masih ada banyak tempat diluar sana yang lebih menarik. Seperti Eropa atau Asia
Timur. Kenapa kau malah memilih wilayah ini yang berada di Asia Tenggara sebagai wilayah
yang paling kau sukai?”
“Mungkin kau merasa begitu, tapi wilayah dengan tiga puluh delapan Prefektur ini sangat
menarik. Seperti terdapat beribu-ribu pulau, bahasa, budaya, dan masyarakat bisa hidup
berdampingan di sisi bahwa mereka memiliki asal yang berbeda. Tempat ini memiliki banyak
keragaman. Berbeda dari dimensi-dimensi lain yang sudah kujelajahi, bahkan dimensi
tempatku lahir saja, jika ada perbedaan maka akan dijauhi.”
Khai mengangguk paham, “Memang, negara ini—wilayah, sesuai yang kau sebut. Memiliki
banyak bahasa dan budaya.” Jeda beberapa detik sebelum ia melanjutkan, nadanya
berubah lirih, “Dan hanya sedikit tempat yang terus melestarikan keragaman itu…
Orang-orang mulai melupakan tradisi mereka, harta yang diwariskan sekaligus identitas
mereka..”
“Aku dulu berasal dari sebuah desa yang terus melestarikan kebudayaan kami, Wayang
Kulit. Desa kami penghasil seni tersebut, bahkan bahasa sehari-hari kami adalah bahasa
lokal. Tapi orang luar tiba-tiba datang, mengusir kami dari desa. Mengatakan bahwa selama
ini kami mencuri tanah mereka. Penduduk panik, ketua desa sudah bermusyawarah dengan
pihak luar dan terus membela tanah kami. Tapi itu sia-sia, tak lama kami berpencar. Tanah
kami dibangun gedung-gedung tinggi.”
Gadis tersebut menunduk, atmosfir menjadi sunyi untuk beberapa saat sebelum Orin
memecahnya. “Aku juga melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, tapi bukan ketika desa
mu diambil. Tapi ketika masyarakat menjadi asing pada identitas asli mereka, terutama di
kota ini. Penduduk mengikuti kebiasaan orang asing dan melupakan budaya mereka.
Bahkan ada orang-orang yang tidak bisa berbahasa suku mereka, hanya menguasai bahasa
asing dan nasional.”
“Sejak kapan ini terjadi? Maksudku, sejak kapan masyarakat teralihkan pada budaya orang
luar wilayah?” Orin kembali bertanya.
Khai mengangkat pandangan, kembali menatap sepasang manik hijau tua di depannya. Dia
menggeleng, “Aku tidak tahu tepatnya. Tapi seingatku, lima tahun lalu, budaya asing
tiba-tiba menjadi suatu fenomena. Dan darisana hampir seluruh pakaian, lagu, cara
berbicara disini, mulai mengikuti budaya asing. Terutama saat ada tokoh baru yang
merupakan orang luar wilayah ini dan menjadi tangan kanan pemimpin disini.”
Orin mengerutkan dahi, “Orang luar yang menjadi tangan kanan pemimpin? Apa itu terjadi
bersamaan dengan meluasnya budaya luar?”

Pertanyaan tersebut direspon anggukan oleh perempuan bersurai pendek tersebut. Orin
menyilangkan lengannya, “Ganjil sekali.. Aku merasa ada yang aneh dengan kebetulan itu.
Tidak sembarang orang bisa jadi tangan kanan pemimpin, terutama orang luar.”
Khai bergumam pelan, “Dulu juga pernah ada rumor tentangnya.”
“Rumor?”
“Ya, katanya dia hanya suka satu ciri khas dan tidak suka keragaman yang banyak.”
Orin terdiam, pikirannya mulai menganalisis setiap kemungkinan. Entah kenapa aku teringat
seseorang..
Sunyi selama beberapa saat, samar-samar terdengar mesin kendaraan yang masih sibuk
berlalu-lalang di bawah sana.
“Kau ada foto orang itu?”
Khai menggeleng, “Tidak, orang itu tidak suka foto dirinya disebarluaskan. Itulah kenapa
reporter sudah jarang atau bahkan tidak pernah menunjukkan fotonya ketika menyiarkan hal
mengenai dirinya. Akan sia-sia jika menggunakan teknologimu untuk mencari wajahnya.
Tapi Aku tahu wajah orang itu.”
Orin yang awalnya merasa kehilangan harapan karena keminiman informasi menjadi
kembali bersemangat. Mata hijau tua sang pemuda melebar, terkesima dan tak menyangka.
“Kau tahu?”
Kali ini kepala perempuan itu mengangguk kecil, “Aku pernah tak sengaja melihat nya saat
mencari tempat istirahat baru.”
Tanpa sadar, Orin menyeringai senang. Ia lalu mengepalkan tangannya, meneguhkan niat.
“Baiklah, besok kita mencarinya. Seorang tangan kanan pemimpin pasti berada tak jauh dari
bangunan nasional negara ini—tempat dimana pemimpin selalu berada. Dan tentu kau
harus ikut.”
Khai terdiam, agak ragu. Dia tak pernah mau berhubungan dengan masalah para pemimpin,
tapi kasus bahwa budaya dan bahasa mereka mulai memudar, apalagi pemuda ini
mencurigai orang luar tersebut, entah kenapa membuat tekadnya mulai membentuk. Ia
mengangguk.

•••

Takdir seperti berada di pihak mereka, pada waktu siang di esoknya, terdapat pengesahan
sebuah terminal nasional baru. Walau lokasinya berada jauh dari atap gedung kosong,
dengan kapsul hitam kebanggaan Orin, mereka bisa sampai tepat waktu.

Setelah menyembunyikan kapsul di sebuah tempat sepi dan ditutupi oleh tumpukan barang
sekitar—agar tersamarkan.
Orin dan Khai bersatu dengan kerumunan di depan terminal yang akan disahkan, sebelum
nya, mereka telah mengganti pakaian agar bisa menyamar diantara para penduduk. Butuh
kesabaran menunggu kedatangan sosok itu, sesak sebab diapit oleh banyaknya masyarakat
dan panas sebab terik matahari lebih dari cukup membuat siapapun yang ada disana
tercekik oleh udara dan riuh manusia.
Lima belas menit, seorang pria usia pertengahan empat puluhan dengan penampilan rapi,
garis wajahnya tajam, tatapan matanya seakan bisa melihat luasnya cakrawala, menaiki
mimbar.
Tepat ketika orang tersebut berdiri tegak menghadap massa, manik hijau tua sang
penjelajah membulat sempurna. Tak percaya akan hal yang ia lihat. Tidak mungkin,
tebakanmu benar?
Pria itu mulai membuka mulut nya, tapi gerakan Orin lebih cepat. Pemuda tersebut segera
menutup kedua telinga Khai yang berdiri di sebelah nya dengan kedua telapak tangan nya.
Tubuh gadis berambut pendek itu menegang seketika karena terkejut. “Maaf, tapi selama
orang itu berbicara, Aku harus menutup telingamu.”
Setengah jam pria itu berpidato, tibalah dibagian dia memotong pita pengesahan berwarna
merah bersama beberapa orang penting lainnya. Orin dan Khai berdiri agak jauh dari
kerumunan, di dekat sebuah toko kelontong dengan pohon besar untuk berteduh. Tangan
Orin tak lagi menutupi telinga Khai.
Manik pemuda tersebut masih menatap tajam pria yang disebut sebagai tangan kanan sang
pemimpin. “Siapa nama orang itu disini?” Orin mendesis.
Khai meliriknya sebentar sebelum kembali memperhatikan kerumunan di depan sana. “Tuan
Edran.”
Jawaban itu cukup membuat Orin mendengus pelan, “‘Tuan’ heh?” Kini Khai kembali
menatap pemuda di sebelah nya, penasaran, “Sepertinya kau sudah mendapatkan jawaban,
siapa dia?”
“Verdan. Itu nama aslinya. Aku tak menyangka akan bertemu dengan seorang mantan
tahanan yang sekarang menjadi tangan kanan pemimpin disini. Sekarang semuanya masuk
akal. Pria tua itu punya kemampuan untuk memberi sugesti pada orang lain dan tepat
sasaran. Tak heran, pastinya dari tiap pidatonya, dia perlahan-lahan menyugesti masyarakat
banyak. Aku hafal sekali sikap pria tua itu, dia memang tidak suka keberagaman. Rumor itu
benar. Dengan kemampuan sugesti itulah alasan dia yang merupakan orang luar bisa
menjadi tangan kanan seorang pemimpin dan secara tidak langsung mengubah pemikiran
masyarakat.”
Khai mengerutkan kening, “Tahanan katamu?”

“Ya, di dimensiku dia memberi sugesti atau bisa dibilang menghipnotis orang-orang untuk
mengkhianati pemerintah dimensiku sebab ia merasa pemerintahan disana telah ‘rusak’. Ia
lalu di tangkap. Tapi saat itu kemampuannya tak berlaku pada penduduk murni sepertiku,
hanya orang-orang dengan darah campuran—keturunan dari dua dimensi atau lebih—saja
yang bisa dia hipnotis. Setelah dia dibebaskan lima tahun lalu, tidak ada yang tahu kemana
dia pergi. Dan tak kusangka akan kulihat lagi wajahnya itu disini.”
“Ah, jadi itu mengapa kau menutup telingaku tadi?” Khai bertanya lagi.
Orin mengangguk, “Walau pidatonya tentang terminal baru itu, tapi aku yakin ia memberi
sugesti dalam tiap kalimatnya.”
“Apa itu termasuk sihir?”
“Tidak, itu masih bisa dijelaskan karena termasuk dalam teknologi bukan sihir. Sugesti yang
dia berikan adalah bentuk gelombang neuro-frekuensi mikro, disisipkan dalam intonasi
suaranya. Ia bisa menyesuaikan getaran suaranya dengan pola otak
pendengarnya—membuat orang-orang menerima kata-katanya atau kebiasaan mereka
yang mengikuti budaya asing seolah kebenaran mutlak.”
“Tapi apa tujuannya kesini?”
“Dia ingin berkuasa. Dan sepertinya, jika dia berhasil, ia ingin membuat perang
antar-dimensi. Sudah pasti dimensiku akan menjadi tempat pertama yang dia serang nanti.”
Keheningan mengambil alih keadaan atmosfir diantara mereka, sayup-sayup keramaian
terdengar jelas di depan sana. Khai mengepalkan tangan. “Aku ingin melawannya.”
Kedua alis pemuda itu terangkat, tertarik. “Melawannya?”
Khai mengangguk mantap, “Aku ingin terus mempertahankan keragaman, budaya dan
bahasa disini. Bagaimanapun caranya, Aku ingin melawan sugesti pria itu. Kau bilang
kemampuannya bukan sihir, itu berarti Aku juga bisa melakukannya dengan terus
mempertahankan keragaman. Jika dia akan menghapus maka Aku akan menulis ulang.”
Orin menyeringai antusias, Ia menyilangkan kedua lengannya. “Kalau begitu Aku juga ikut,
kau memiliki lawan dari dimensi lain, jadi setidaknya kau juga punya penduduk dimensi lain
dengan pengetahuan tinggi di pihak mu juga. Dan entah setidak sukanya Aku dengan
dimensiku, Aku harus melindunginya dari orang-orang seperti Verdan.”
Khai terkekeh, gadis itu mengangguk. “Baiklah, senang bisa bekerja sama denganmu,
Alien.” Orin ikut tertawa.

•••

Seluruh cara mereka kerahkan. Dari membangun sekolah budaya sesuai dengan daerah
masing-masing hingga menerbitkan buku-buku berisi bahasa tradisional, tak ada yang
mereka lakukan setengah hati. Mereka berdua seolah menjadi jembatan antara masa lalu

dan masa kini, memastikan akar budaya tidak tercabut oleh arus modernitas. Hingga saat
ini, usaha itu belum berhenti. Jika kalian melihat sekolah-sekolah budaya yang berdiri di
berbagai wilayah, atau buku-buku yang mengajarkan bahasa lokal dengan penuh cinta,
mungkin di baliknya ada jejak langkah Orin dan Khai.
Sebab keragaman antara budaya dan bahasa bukanlah sekadar ‘perbedaan’ dari
sekelompok orang. Ia adalah keunikan, warna, dan identitas yang membentuk jati diri kita
bersama. Setiap dialek, setiap tradisi, menyimpan kisah panjang tentang siapa kita dan dari
mana kita berasal. Dan selama masih ada yang mau menjaga serta melestarikannya,
warisan itu tidak akan pernah punah—hanya akan tumbuh dan hidup di setiap generasi
yang mencintainya.
Keragaman antara budaya dan bahasa adalah harta yang tak pernah tergantikan. Jangan
biarkan harta ini memudar apalagi menghilang.
TAMAT

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori