Suara Yang Tersisa

Penulis : Elda Alni Rachman

Aku bersandar ke kaca mobil, memandangi pepohonan yang kian merambat
menggantikan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Mobil kami yang
tadinya melaju kencang dan mantap sekarang terguncang oleh jalan berbatu
seadanya. Aku mendengus kesal, semenjak memasuki daerah terpencil, sinyal
ponselku hilang, memaksaku untuk menghibur diri dengan cara lain.
Aku dan ayahku berangkat dari Bandung ke Garut. Seminggu yang lalu kakek
buyutku baru saja dikebumikan dan pagi ini ayahku mengajak ku untuk bersih-bersih
rumah kakek buyut. Jujur saja jika aku bisa memilih, mungkin aku masih berada
dikamarku, duduk didepan komputer dan memainkan game yang baru ku unduh
malam tadi, bukan didaerah terpencil minim sinyal ini.
Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah kuno bernuansa gelap. Hampir seluruh
badan rumah itu terbuat dari kayu jati. Aku termangu, kalau dijual pasti harganya
mahal… Rumah itu tampak lega, hampir sulit membayangkan kakek buyut hidup
sendirian disini. Memasukan ponselku ke saku rok, aku bergegas keluar dari mobil.
Menutup pintu dengan hentakan kecil, aku mulai berjalan ke teras rumah itu. Kayu
usangnya berdecit di bawah sepatuku. Ku lihat ayahku menyusulku lalu mencoba
untuk membuka kunci pintu. “Uyut tinggal sendirian disini apa ga kesepian, yah?”
celetuk ku sembari mengusap dinding rumah itu. “Ya makannya, tiap cucu dan
cicitnya pulang kampung kesini, beliau pasti senang bukan main…”
Derak kasar terdengar keras saat ayahku mengayunkan pintu untuk membukanya. Ku
intip ke dalam, interiornya tak kalah jadul. Menginjakan kaki kedalam rasanya seperti
terlempar ke masa lalu. “Mau beresin apa?” tanyaku pada ayah heran, menatap semua
perabotan dan dekorasi yang masih tertata elok. “Ya, beresin ini semua,” sahutnya
sembari menunjuk ke seluruh penjuru. “barang-barang uyut.”
“Sekalian perabotannya juga?”
“Beberapa, iya.”
“Kenapa?”
Ayahku terdiam untuk sesaat layaknya ia menimbang jawaban yang tepat, sebelum
akhirnya menatapku sepenuhnya dengan senyum kecil. “Gini, Rey. Sekarang kan
uyut sudah tidak ada, otomatis tanggung jawab untuk mengurus rumah ini jatuh ke
ayah.” tuturnya pelan, mengharapkan pengertian.

“Tapi kamu sendiri tau sibuknya ayah seperti apa. Daripada tidak terurus, lebih baik
kita rapikan lalu kita pasarkan. Siapa tahu penghuni baru kelak bisa mengurus rumah
ini lebih baik daripada ayah.” Lanjutnya dengan malu-malu. “Lho, beneran dijual?”
Celetukku agak kaget karena lamunanku benar-benar terjadi. Melihat wajah ayahku
yang membulat, aku menarik perhatianku darinya dan bergumam, “Mh, ga heran sih.”
Ya, mengurus rumah tua yang jauh dari tempat tinggal sendiri bukanlah hal yang
mudah untuk direalisasikan. Daripada terbengkalai, lebih baik dijual. Benar kata
ayah, orang lain dapat mengurus rumah ini lebih baik, ditambah hasilnya dapat ayah
gunakan untuk modal bisnis kecil-kecilannya.

Aku membagi tugas bersih-bersih dengan ayahku. Aku akan mengumpulkan barang-
barang kecil milik buyut sementara ayah akan membongkar perabotan yang

dianggapnya sudah terlalu usang. Dari sini aku menemukan kegemaran buyut yang
tak pernah ku ketahui sebelumnya saat membersihkan meja kerjanya. Dia gemar
menulis puisi-puisi pendek tentang kesehariannya, atau sekira ku begitu. Tiap puisi
yang ia buat ditulis menggunakan bahasa sunda yang sangat halus. Nyaris ku tak
mengerti apa yang ia coba sampaikan. Bahasa sunda seadanya yang biasa ku gunakan
bersama teman-teman tak bisa dibandingkan dengan… ini. Apapun ini. Sempat ku
foto beberapa karya yang mungkin ia buat disela-sela kekosongan harinya untuk ku
terjemahkan sepulang nanti.
“Ini simpen dimana?” kataku saat aku berjalan ke ruang tamu sembari memeluk
kotak kardus yang berisi semua buku dan kertas-kertas yang tercicir berantakan di
meja buyut. Ayahku yang berada ditengah-tengah membongkar sebuah lemari hanya
menoleh sekilas sebelum menunjuk ke tumpukan kardus ditengah ruangan. “Taruh di
situ saja. Lanjut bersihkan loteng, ya, Rey? Sekiranya ada kardus-kardus ringan
tolong diturunkan…” Beres meletakan kardus, aku menepuk debu-debu yang
menempel di bajuku. “Berat juga aku turunin.”
Pintu loteng berdecit saat aku mendorongnya ke atas. Terbuka, aku menyembulkan
kepalaku untuk melihat situasi. Loteng terlihat gelap dan berdebu, banyak kotak
bertumpuk dan berserakan. Mendaki anak tangga terakhir, aku pun merunduk agar
kepalaku tidak membentur langit-langit loteng saat aku berdiri. Menyinari loteng
dengan lampu kilat ponselku, baru ku mulai memeriksa kardus satu persatu. Isinya
tidak ada yang menarik, kecuali sebuah kotak kayu panjang yang terlihat masih elok.
Ku keluarkan dari kardus tempatnya bertumpuk dengan barang lain dan membuka
penutupnya.

Aku menemukan sesetrip semacam kertas yang di permukaannya tertulis aksara yang
berkelok-kelok. Aksara sunda. Jangankan mengerti, membacanya saja tidak mampu.
Menariknya keluar, alisku terangkat saat menyadari bahwa setrip kertas ini tak hanya
satu dan setiap setripnya disambungkan oleh seutas tali. Ku usap permukaan kertas
itu, keras dan kaku, mungkin memang bukan kertas. Tiap aksara tenggelam ke dalam,
diukir, bukan ditulis. Rasa ingin tahu menyergapku, aku penasaran isi di dalamnya
tapi dongkol karena aku tak bisa memahaminya. Tanpa berpikir panjang aku
mengembalikan setrip-an ‘kertas-kertas’ itu dan menutup kotaknya kembali sebelum
menyelipkan kotak itu ke sakuku dan lanjut membereskan loteng.
Sudah larut malam saat aku sampai di Bandung. Aku duduk di depan komputerku
dengan kertas yang ternyata naskah kuno yang terbuat dari daun lontar, tergeletak
kaku di mejaku. Aku sudah menghabiskan waktu mencoba untuk menerjemahkan
aksara itu, tapi usahaku nihil. Menjengkelkan. Ku intip Jam di komputerku. Sudah
pukul 1 pagi, sebaiknya aku tidur. Menatap naskah daun lontar itu untuk terakhir
kalinya, aku menghela napas dalam, sebelum mematikan komputerku dan beranjak
ke kasur. Besok akan ku bawa ke sekolah, barang kali teman-teman ada yang bisa
membacanya.
Menarik selimut, aku terlelap dengan cepat. Di mimpiku, aku melihat secercah
cahaya hangat yang datang dari sebuah lampu minyak. Berjalan mendekati, terbentuk
bayangan seorang pria tua berpostur layu, menghilir membungkuk di hadapan sebuah
meja kecil yang diterangi oleh secawan lampu minyak. Pria itu berkutat,
mengasahkan aksara sunda pada sesetrip daun lontar yang tertumpuk rapih.
Menatapnya lekat-lekat, ia menoleh dan menatap balik lurus ke mataku, membuat ku
terkesiap lalu terbangun. Mata ku terbelalak menatap langit-langit kamar sebelum
menoleh tajam ke naskah daun lontar di meja komputerku. Jangan bilang naskah itu
terkutuk.
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku duduk di taman depan sekolah bersama

teman-temanku. “Eh, kemarin aku bersihin rumah almarhum uyut aku, kan, ku liat-
liat dia suka banget nulis puisi-puisi pendek.” Kataku memulai percakapan sembari

bersandar pada Nirmala, menunjukannya foto dari beberapa puisi buyutku yang aku
tangkap. “Mana liat,” Dia menyambar ponselku untuk melihat lebih dekat. “Eleuhh,
halus gini bahasanya.” seringainya sembari membacakan beberapa sajak dengan
keras. “Kamu ngerti?” Tanyaku, “Sedikit.” Nirmala menoleh, mengembalikan ponsel
padaku. Riko, yang duduk disebrang kami hanya menatap datar.

“Omong-omong bahasa sunda, kemarin pas beresin loteng, aku juga nemu ini.” Ku
ambil kotak kayu yang berisi naskah daun lontar itu lalu ku tunjukan pada Nirmala
dan Riko. Nirmala menahan napasnya, wajahnya membulat, “Aksara sunda, ya?
Banyak banget–” Nirmala mendecit, membungkuk untuk melihat naskah itu lebih
jelas. “Mala bisa bacanya, nggak? Pengen belajar aksara sunda…” Aku
mengumamkan kalimat terakhirku
“Kalo banyak gini sih kayaknya gak bisa deh, pasti lama. Tapi ini di akhir ada nama
penulis sama… tahun kayaknya. Uhm, Aam Mustappa.. 1892.” Ejanya terbata-bata
“Hah!?” Aku tersentak, “1892? Bohong ah!”
“Ya gatau, tapi tulisannya gitu,”
“Bahas apa si? Prasasti kuno?”
Seru Riko yang sekarang ikut mencondongkan tubuhnya mendekat pada kami. “Buat
apa sih? gajelas.” Cetusnya ketus. “Riko kok gitu,” Seru Nirmala. “Ya, kayak
ngapain? Udah gak relevan tau. Catetan dari 1892? fake itu, kalo iya real juga paling
isinya apa sih.” Aku dan Nirmala saling bertukar pandang, heran dengan tanggapan
Riko yang begitu getir. “Kalau mau nerjemahin, kita ke Perpustakaan Kawaluyaan
aja. Aku temenin.” Kata Nirmala, memotong kesunyian. “Boleh. Riko ikut gak?”
anggukku pada Nirmala sebelum menoleh pada Riko. “Gak. Males.” Jawabnya ketus.
Nirmala duduk berkutat di meja perpustakaan, berusaha untuk menerjemahkan
naskah aksara sunda itu kata per kata dengan bantuan buku kebahasaan sunda. Aku
mendengus kecil, tersenyum kasian pada Nirmala yang sudi membantuku sampai
sebegitunya. Aku berjalan-jalan dari rak ke rak untuk mencari informasi lebih lanjut
mengenai naskah kuno aksara sunda. Di salah satu buku mengenai para juru tulis, ku
balik lembar demi lembar dan menemukan nama yang Nirmala baca tercetak jelas

dengan huruf tebal. Aam Mustappa, seorang juru tulis kerajaan sunda dari abad ke-

  1. ‘Kenapa catatannya bisa nyasar sampai rumah uyut?’ Kubaca biodatanya dengan

cepat dan aku berspekulasi dengan gegabah: Uyut memiliki darah keturunan sang
juru tulis. Berbalik tajam aku membawa buku itu dengan ku menuju meja
perpustakaan. Nirmala mendongak saat aku duduk di sampingnya, “Ini udah hampir
selesai, tapi masih bahasa sunda, indonesiain nya nanti sama kamu aja, ya.” aku
mengintip ke kertas translalsi hasil Nirmala, mengangguk puas. “Aman. Makasih ya.”

Membaca hasil translasi dari Aksara sunda itu lagi dan lagi aku mencoba untuk
mencerna apa yang sang juru tulis coba sampaikan. Sudah beberapa hari aku
mencoba untuk menyempurnakan naskah itu ke bahasa indonesia bermodalkan
kamus dan internet. Mimpiku juga kian hari kian jelas. Dari yang hanya saling
bertatap mata, sampai ke titik dimana si pria tua mencoba berbicara padaku. Namun
sayang, aku tak mengerti apa yang ia katakan. Menghela lelah, aku menatap berbagai
versi dari translasi indonesia yang pernah ku tulis. Semuanya masih berantakan, tapi
inti dari naskah itu adalah bagaimana bahasa dan aksara sunda akan mati jika tak
seorangpun mengingatnya. ‘Matinya bahasa ibu dalam lisan dan hati perlahan akan
memudarkan jati bangsa. Bak Pohon tanpa akar.’ Kalimat dalam translasi yang
paling mencolok bagiku. Aku menghela lelah, beranjak dari kursi, aku merangkak ke
kasurku dan berbaring. Memejamkan mata, aku langsung terbawa ke alam bawah
sadarku dengan cepat
Aku berdiri ditempat itu lagi, dengan cahaya yang sama di kejauhan. Kali ini aku
melangkah dengan mantap, tak sabar untuk menutup jarak dengan pria tua itu. Saat
aku melihat dirinya masih berkutat dengan naskahnya, ia menoleh untuk menatapku
seperti biasanya, kali ini aku tetap berpegang teguh seraya kakiku mengakar ke tanah.
Si pria tua berdiri berhadapan denganku. Saat ia mulai berbicara dadaku terasa sesak,
mendadak aku mengerti kata demi kata yang ia ucapkan. Perasaanku meledak, tak
bisa ku jelaskan, kewalahan dengan pemahaman yang datang secara tiba-tiba.
“Dalam tiap kata yang diukir dalam lembar ini, terkandung darah dan air mata. Jiwa
yang menelusuri waktu ini telah merasakan bahwa bahasa kita, Bahasa Sunda, dan
aksara Sunda yang mulia ini,” Pria itu menjeda perkatannya. Aku merasakan sepoi
angin menghembus membawa terbang rambutku lembut sebelum menggebu menjadi
angin ribut. “tertinggal dan terabaikan, dan akhirnya akan terkubur dan hilang dari
ingatan bangsanya sendiri.” Pria tua itu berbalik, membelakangiku, pahatan di daun
lontar mengeluarkan secercah cahaya sebelum buyar ke bentala, menyinari ruang
hampa yang gelap. Setiap Aksara serasa berbisik padaku. “Kepedihan ini begitu
dalam. Sakit ini menusuk kalbu. Kami, yang telah bersumpah setia menjaga sabda
dan aksara, dapat melihat dalam mimpi, anak cucu kita kelak, mereka akan asing
dengan suara ibunya,”

“Surat ini adalah peringatan dan wejangan dari mereka yang telah lama memulai.
Kepadamu, siapa pun yang berkesempatan membaca tulisan ini… mulailah dari
dirimu sendiri. Jagalah satu kata, gunakan sepotong kalimat setiap hari. Matinya
bahasa ibu dalam lisan dan hati perlahan akan memudarkan jati bangsa. Bak pohon
tanpa akar. Bak berjalan tanpa tujuan.”
Seiring lepasnya semua aksara ke angkasa, suara-suara itu semakin keras dan lantang,
sebelum akhirnya berhenti dengan serempak ketika ruang kosong berubah menjadi
hamparan ilalang yang terbentang ketakterbatasan. Tiupan angin terakhir terasa
lembut diwajahku, meninggalkanku bungkam terkesima.
Aku duduk di taman yang sama, lagi-lagi dikelilingi oleh teman-temanku. Kali ini,
aku sibuk menulis sebuah naskah pidato untuk Lomba Festival Tunas Bahasa Ibu
yang diselenggarakan disekolahku. Ku goreskan penaku dengan lugas, hasil dari
memperdalam bahasa sunda ku secara mandiri beberapa bulan terakhir ini. Riko yang
duduk disampingku menengok kepo atas apa yang aku kerjakan. “Itu naskah biantara
buat lomba? Gaberes-beres ih. Full nulis sendiri kah? Chatgpt aja padahal, temen
sekelas aku gitu, sekarang tinggal ngapalin.” Riko menggedikkan bahunya. Aku
menoleh pelan, memamerkan senyum paling sabarku. “Ya gapapa. Walau lama, aku
bikin sendiri langsung dari hati. Secara gak langsung ikut ngelestariin dan ngejaga
bahasa ibu agar tetep hidup. Riko kapan mau embrace bahasa sunda?” Laki-laki itu
memutar matanya sebagai respon. “Ya, nanti deket-deket ulangan akhir semester
ajarin.” Beres menulis naskah pidatoku, aku menambahkan kalimat terakhir
menggunakan Aksara Sunda yang baru kupelajari. Sayang jika tidak digunakan.”


(Iwasan basa nu hiji teu kapiara, iwasan karuhun nu hiji tilar dunya)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori