Penulis : asna 10 AK 2, siswa SMKN 3 Bandung
Libur akhir pekan ialah salah hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Beruntung sekali, moment itu akan jatuh tepat pada hari esok.
Untuk merayakannya. Keluarga Jihan berencana berlibur ke pantai Pangandaran, Jawa Barat. Alhasil, malam ini ia, Alif—adiknya, Ibu, serta ayahnya tampak sibuk mempersiapkan barang perlengkapan yang dikiranya penting untuk mereka bawa nanti.
“Apa yang kurang ya?” Jihan bergumam seraya mengamati isi dari sebuah koper yang berada di hadapannya. “Sandal? Sudah, ikat rambut? Sudah, handuk dan baju ganti? Juga sudah.”
“Terus apalagi?”
Jihan berfikir keras. Detik berikutnya Jihan langsung teringat akan sesuatu. “ Sunblock! Ya, Sunblock.”
Pantai identik oleh suhu yang panas dikarenakan matahari disana kerap bersinar begitu terik. Ketika itu, kulit kita akan berubah menghitam dengan cepat jika terkena paparan sinarnya. Untuk mengatasinya, tentu saja Jihan memerlukan Sunblock.
Tidak ingin membuang-buang waktu lama, Jihan pun segara mengambil Sunblock di meja rias miliknya. Lalu, dimasukkanya ke dalam koper.
Setelah itu, barulah Jihan merasa jika semuanya sudah siap. Lantas Jihan menutup koper tersebut. Meletakkan selempang kecil yang hanya berisi tisu dan ponsel di atas badan koper.
Jihan membaringkan tubuhnyai ke atas kasur sembari bernafas lega. Kaki dan tangannya terlentang bebas. Ia mulai merasa lelah, maka ia memutuskan untuk segera tidur.
Puluhan burung-burung di dahan pohon tengah berkicauan, menyerupai suara nyanyian nan terdengar merdu. Hembusan angin di tengah butiran air bening pada dedaunan, menambah kesan sejuk pagi ini. Di samping itu..,
Sebuah mobil MPV berwarna abu melaju dengan kecepatan cukup kencang, membelah jalanan raya.
Jihan menatap seorang anak laki-laki yang berada di sampingnya. Dia—Alif, adiknya. Umurnya baru genap 5 tahun. Bocah itu terdidur pulas, kepalanya bersandar di bahu Jihan.
Sepasang mata Alif tertutup begitu rapat, seakan menikmati alam mimpinya. Sesekali tubuh Alif bergerak, menggeliat mencari posisi lebih nyaman.
“Ayah,” panggil Jihan pelan.
Sang Ayah meliriknya sesaat lalu bergumam, “Kenapa?”
“Apa masih lama sampainya?” Jihan balik bertanya.
“Lumayan. Sekitar setengah perjalanan lagi kok,” balas sang ayah jujur. Pandangannya fokus terhadap jalanan di depannya.
“IHHH, Ayah. Itu masih jauh namanya,” kata Jihan kesal. Sedikit kecewa dengan jawaban sang Ayah. Sedangkan Ayah dan Ibu tersenyum kecil mendengar ungkapan Jihan.
Beberapa titik ruas jalan kota mengalami kemacetan parah, akibat antrean kendaraan yang sangat panjang layaknya ular. Tujuan kendaraannya pun seakan sama, yakni berusaha keluar dari area ibu kota.
Mobil keluarga Jihan dan Alif pula ikut terjebak dalam kemacetan.
Petugas keamanan sekaligus pengatur lalu lintas setempat mau tak mau harus turun tangan. Mereka—polisi—langsung menetapkan sistem buka-tutup jalur. Atau menyuruh sebagian kendaraan berputar balik arah, agar menggunakan jalan alternatif lain.
Jihan, Alif bersama kedua orang tuanya tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa pasrah, menunggu mobil mereka maju sedikit demi sedikit.
Beberapa jam kemudian…
“Hoamm..,.” Alif menguap mulai terbangun dari tidurnya. Alif mencoba membuka kelopak matanya meskipun agak sedikit berat dan mengumpulkan puing-puing kesadarannya.
“Kak… apa kita sudah sampai?” tanya Alif. Penglihatannya masih terlihat sayup-sayup.
“Mungkin sebentar lagi.”
Setelah terbebas dari kemacetan satu jam yang lalu. Mobil mereka sempat mengunjungi tempat pengisian bahan bakar. Tentunya untuk mengisi bensin.
Sehabis itu, barulah mobilnya jalan kembali dengan kecepatan sedang. Berkilo-kilometer jalan yang ditempuh. Sampai akhirnya, mobil mereka memasuki area parkiran hotel.
Sontak saja, Alif melepas tali pengamannya. Berdiri tegak di atas kursi mobil.
“HOREE!!! SUDAH SAMPAI!” seru Alif begitu gembira.
“Hore!!! Hore!!!” Alif terus berteriak, kakinya melompat-lompat. Jihan hanya memperhatikan tingkah adiknya dari samping sambil berwaspada.
“Alif… sayang, duduk. Nanti kamu jatuh,” peringat sang Ibu. Alif menurutinya, duduk kembali tapi bersama senyuman lebar yang terlukis di bibir mungilnya.
Ketika mobilnya telah terparkir, Alif dan Jihan langsung keluar dari dalam mobil dikuti oleh ayah dan ibunya.
Sang Ayah membuka pintu garasi. Jihan meraih koper sedang dan selempangnya. Dia membantu memakaikan tas ransel kecil bermotif animasi bus kecil tayo ke punggung adiknya.
Sang ibu baru saja akan meraih koper besar dan keranjang roti, namun segera diambil alih oleh suaminya.
“Biar aku saja yang membawanya.” Ia pun tersenyum melihat sikap manis yang ditunjukkan suaminya.
“Ciee.., ibu senyum-senyum sendiri.” Goda Alif, suaranya khas seperti anak kecil.
Jihan terkekeh, geleng-geleng tak menyangka kalau adiknya itu sudah pintar berbicara.
“Kamu ini,” kata sang ibu mengacak-acak rambut anak putra kecilnya. Dia menarik lengan Alif, mengajak masuk ke dalam hotel. Sementara Jihan dan sang Ayah mengikutinya dari belakang.
Bapak Hendra—ayah Jihan—tengah memesan satu buah kamar hotel berukuran besar untuk menginap satu malam. Membayar menggunakan kartu kredit miliknya. Saat semua sudah beres, ia berjalan menghampiri istri dan kedua anaknya yang menunggu dirinya di kursi panjang. Ia memberi tahu nomor kamar yang akan mereka tempati.
Mereka berempat pun bergegas pergi untuk mencari kamar yang dimaksud. Dibantu oleh salah satu petugas hotel.
Hari sudah mulai sore, tapi pernyataan itu tak melunturkan semangat Jihan dan Alif. Mereka sudah siap bermain, buktinya sepasang tangan mereka semua telah penuh menenteng barang-barang.
“YEYY!!! PANTAII,” teriak Jihan melihat luasnya pantai.
Suara pasang surut air laut terdengar oleh mereka. Suasana pantai tampak lengang mungkin para pengunjung pantai berlalu pergi untuk menjelajah ke tempat wisata lainnya.
Ibu dan Ayah menggelarkan tikar dan menata makanan. Alif mengganti pakaiannya dengan baju pantai. Terakhir Jihan sibuk meluluri kulit tubuhnya dengan Sunblock.
“Ayo kak! Ayo!!” Ajak Alif sudah tidak sabar.
“Sebentar,” kegiatan melumuri sunbloknya belum selesai.
“Ayo kak, cepat.” Alif merengek, menarik-narik ujung baju Jihan.
“Ya sudah ayo,” putus Jihan.
Alif dan Jihan berjalan maju lebih ke depan, bermain-main air pantai. Setelahnya, Alif mengambil seperangkap mainan pasir dari tangan sang Ibu. Kemudian ia Menghampiri kakaknya kembali.
Jihan mengambil pasir pantai dibantu sendok pasir, memasukkannya ke dalam ember berbentuk istana hingga terisi penuh. Sedangkan Alif tengah membuat hewan kepiting, kura-kura dan bintang laut menggunakan cetakan mainan pasir.
Istana Jihan sudah beres. Alif melihat istana buatannya. Dia yang masih terbilang anak kecil langsung menghancurkannya.
“Yahh, Adek. Jangan dirusak.”
Dia berusaha meredam rasa kekesalnya.
Jihan pun melakukan dari awal lagi untuk membuat istana seperti tadi.
Beberapa menit kemudian…
Tumpukan pasir menyerupai istana itu telah jadi. Istana kali ini bahkan terlihat lebih rapi dan bagus dibandingkan istana sebelumnya yang sudah hancur.
Alif bertepuk tangan, namun detik berikutnya ia kembali menghancurkan istananya.
Pasir yang semula berwujud seperti istana itu sudah rubah, bentuknya pun tak karuan. Jihan menatap adik nya tak percaya.
“Adek!,” Jihan memekik.
Alif terkekeh melihat ekspresi kakaknya sekarang ini. Dia membawa setumpuk pasir pada telapak tangan, melemparkan pasir tersebut ke atas. Sehingga pasir tersebut berjatuhan layaknya seperti hujan.
Alif membawa pasir pantai lagi ke genggaman tangannya. Kali ini pasir itu tidak dia lempar. Melainkan ia tiup tepat di depan wajah Jihan, membuat mata Jihan kelilipan karena banyak pasir yang masuk.
Seorang ayah dan ibu yang sedari tadi memperhatikan gerakan Jihan dan Alif. Setelah melihat apa yang Alif perbuat, mereka langsung menghampiri kedua anak mereka. Mereka khawatir dengan kondisi Jihan.
“Alif…, jangan bermain pasir seperti tadi.” Kata sang ibu, “itu bahaya sayang,” lanjutnya memberitahu dengan nada lembut.
Hendra menyuruh Jihan untuk membuka matanya. Dia meniup-niup matanya Jihan untuk menolong ana putrinya.
“Apa masih perih?”
“Jangan diulangi lagi ya?” pinta sang ibu pada Alif, “Lihat, kakak mu hampir menangis.”
Alif mendengarkan nasihat ibunya baik-baik. Ia menatap kakak perempuannya yang masih bersama sang Ayah.
“Ayo minta maaf,” suruh sang Ibu.
Alif mengangguk pelan, “I’m sorry,” cicit Alif dengan raut wajah bersalah. Anak laki-laki kecil itu menjulurkan tangan kanannya.
Jihan tersenyum tulus dan juga salut, adiknya bisa berbahasa inggris yang pernah diajarkannya. Setelahnya, Jihan menangkap raut sedih Alif, ia pun buru-buru berjongkok agar bisa menyamakan tinggi adiknya dan menyambut uluran tangan mungil Alif. “Don’t be sad, I’m okay.” Sontak saja sebelah alis Alif terangkat, tidak mengerti. Jihan terkekeh, “Artinya : Jangan sedih, kakak baik-baik saja.”
Alif ikut tersenyum sembari memeluk kakaknya. Tentu saja Jihan membalas pelukannya.
“Sekarang… ayo kita main bersama!!” ajak Hendra lantang.
“Ayooo!!” balas dua bidadari cantik dan satu pangeran tampan kesayangannya.
Akhirnya, mereka pun berlari kesana-kesini saling mengejar satu sama lain di tepi air pantai yang dangkal. Mengukir gambar love yang berukuran besar dengan nama mereka ada di badan hati. Menggunakan ranting pohon yang ada di bibir pantai.
Hendra, yang tidak ingin menyia-nyiakan moment fun, segera memotret semuanya dengan Kamera.
Sepuluh menit lamanya mereka bermain bersama, berbagi kebahagiaan dan ketenangan.
Hingga kegiatan mereka harus terhenti, sebab hari semakin menuju malam. Angin semakin berhembus lebih kencang, terasa dingin.
Sang ibu dan Ayah merapikan tikarnya kembali, memasukkan plastik-plastik snack ke dalam kresek.
Kresek menjadi salah satu barang yang wajib dibawa ketika berlibur, teruma ke daerah pantai. Kresek itu juga akan mengurangi jumlah sampah yang berserakan di pasir pantai. Karena menurut mereka, menjaga kebersihan dan memelihara keindahan alam itu sangat amatlah penting. Dengan begitu, secara tidak langsung mereka telah menjaga alam.
“Ayo kembali ke hotel,” tutur sang ayah, sudah selesai beberes.
“Ayuk,” jawab Alif menggemaskan.
“Ayah. Kita semua pulang ke rumahnya terbang aja, kayak Superman. Biar cepet sampai.” Kata Alif berangan-anga ngayur.
Tidak ada yang bisa menahan tawa. Sang ibu, ayah dan Jihan, mereka tertawa mendengar keinginan anak kecil itu.
“Yaudah, nanti selesai dari hotel. Kita terbang sama-sama,” balas Hendra serta tertawa geli.
Mereka kembali pulang ke penginapan, sebelum esok paginya mereka harus kembali ke kota.
Menjalankan hidup seperti biasanya. Sang ayah yang akan bekerja kembali ke kantor. Dan kedua anak mereka yang kembali bersekolah.