Author by: TA
Awalnya cukup menyenangkan, hanya dengan naik turun hingga kita merasa lelah dengan membuang-buang emosi yang tak berarti. Lalu, dari mana mulanya argumen kecil yang kita lakukan? Apa karena tidak ada kesejajaran sejak awal, saat salah satu dari keduanya menjadi lebih berat?. Jika demikian, maka mari ulangi permainan ini dan cobalah akhiri.
.
.
Dua kepribadian itulah yang membuat hubungan kedua nya bagaikan permainan jungkat-jungkit. “Masing-masing berusaha memulai permainan, kemudian merasa bosan dan menghentikan permainan nya.”
.
.
Untuk sekarang, seseorang harus turun dari sini, meskipun kita tahu bahwa akan ada yang terluka jika satu orang menghilang. Namun egoisnya, tidak ada yang mau menjadi ‘orang jahat’ karena pada dasarnya tak satupun dari kita yang mampu mengakhirinya.
[Seesaw, Suga.]
Chapter 1
“Pak Ogii.. Jangan ditutup!” Rengek seorang gadis sesampainya dipintu gerbang yang hampir tertutup rapat. Beruntung Pak satpam yang baik hati mau membuka kembali pintu gerbang yang hampir tertutup itu. Seila tesenyum lebar seraya bernafas lega dan melenggang masuk setelah mengucapkan terimakasih.
“Selamat pagi, Pak Anton!” Sapa Seila riang menghampiri seorang pria paruh baya yang sedang duduk di meja piket dengan tangan yang dilipat didada nya. Kerena tak kunjung mendapat balasan, Seila memutuskan untuk menempelkan ibu jarinya pada sebuah alat scanner untuk absen kehadirannya.
Sesudah itu, Seila berniat untuk melangkah pergi ke kelasnya. Namun sebuah dehaman keras membuat ia menoleh kembali. Ia melihat Pak Anton yang tengah tersenyum tipis dengan mata menelisik tajam memeriksa setiap bagian tubuh yang terbalut seragam itu.
“Tau sekarang hari apa?” Ujar nya kemudian dengan nada sinis, tidak suka, seakan ada sesuatu yang salah diballik pertanyaan itu.
Seila mengerutkan kening heran, padahal kemarin baru saja pelaksaan upacara digelar seperti biasa, bahkan Beliau yang menjadi pembicaranya. Spontan otaknya berputar dengan keras, menebak-nebak teka-teki apa yang tersumbunyi dibalik pertanyaan singkat itu. Tepat dalam beberapa sekon kemudian, muncul satu kata dalam benak yang membuat respon tubuh nya seperti terkena serangan jatung mendadak.
Razia.
Seila tersenyum kecut ia yakin jika pria itu sudah melihat kaus kaki hitam pendek milikinya.
Benar saja, dalam hitungan detik pria paruh baya itu mulai menghujani nya omelan plus sindiran. Seila hanya bisa menunduk patuh dengan bibir yang dilipat kedalam.
Pagi indah yang harusnya ia bisa nikmati untuk bersantai ria dibangku kelas sambil berkutat dengan buku tulis yang dicoret menggunakan tinta warna-warni, justru kini berakhir miris dimeja piket guru.
Seila mengetuk-ngetukan ujung sepatunya pada lantai selagi masih merenungkan nasib diri. Selang beberapa menit Seila dibuat terkejut dengan suara klakson mobil yang dibunyikan dengan tidak sabaran.
Rasanya seperti tersambar petir di pagi buta. Bagaimana tidak, suara klason kendaraan itu tidak main-main begitu nyaring dan memekikan telinga hingga orang-orang disekitar pun ikut terkejut bukan main. Bahkan Pak Anton yang sedang sibuk berceloteh pun sampai berlatah-latah.
Seila mendengus sebal melihat gerbang yang dibuka dengan lebarnya. Tampak sebuah mobil dengan model keluaran terkini mulai memasuki perkarangan sekolah dan mengisi lahan parkir khusus. Tidak lama kemudian, pintu mobil itu terbuka dan memunculkan beberapa sosok pemuda berseragam lengkap putih abu-abu.
Jidat yang tertutup dengan helaian rambut itu tiba-tiba saja membentuk sebuah perempatan. Seila menganga tidak percaya saat irisnya mendapati sosok pemuda yang sangat familiar.
Pemuda itu terdiri dari sang Alpha, Levine Alexander. Siswa yang dikenal seantero sekolah sebagai pria berparas tampan, bertubuh ideal, berotak cemerlang, serta kepribadian nya yang begitu dominan dan berwibawa.
Lalu pemuda kedua bernama Roland Arditya, seorang pemuda dengan jiwa sosial yang tinggi. Ia sangat disukai oleh para guru sebab dia lah Ketua Osis di sekolah ini. Selain itu, ia juga dikenal sebagai shooter handal dalam Club maupun Team Basket sekolahnya.
Pemuda terakhir itu bernama Ezra Nathanael, sosoknya di kenal sebagai pemuda yang gemar membuat onar, berlidah tajam, serta sikap kasar yang kelewat barbar. Walau memiliki kepribadian yang dicap menyebalkan oleh beberapa penghuni sekolah ini, pesona nya tetap menjadi sorotan sebab parasnya yang rupawan dan kaya raya. Menyebalkan memang.
Bagaimana bisa mereka senekat itu untuk mencari masalah di hari sesakral ini? Rasanya Seila ingin sekali menabur bunga mawar merah dan menyalakan sebuah lagu untuk menyambut kedatangan para pemuda itu.
Seila dibuat geleng-geleng ketika wajah-wajah tampan itu datang dengan percaya diri, berjalan mendekat dengan langkah gontai menghampiri hewan buas yang siap menerkam mereka detik ini juga. Gila, pikirnya.
“Dasar murid tidak tahu aturan! Sudah hebat kalian hah?!” Pak Anton meninggikan nada bicaranya dengan mata menyalak. Sesuai dugaan, pria itu sudah terlihat seperti pemangsa yang akan membabat habis buruan nya tanpa ampun.
Lupakan masalah kaus kaki miliknya, kini Seila hanya bisa diam mematung menonton kejadian hebat ini. Seila masih tidak habis pikir saat melihat ekspresi wajah para pemuda itu yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Roland yang sibuk mensejajarkan tali pada topi hoodie nya, Ezra yang berdiri dengan tangan yang berada si saku seragamnya, dan Levine yang berdiri tegak dengan tatapan datar.
Bagaimana bisa mereka sesantai itu sedangkan Seila merasa bahwa dirinya kini seperti tiang penyangga bangunan. Kelewat malas melihat ketiga nya, Seila bersumpah akan memohon untuk kepergian nya saat ada kesempatan.
“Pak, maaf, apa saya boleh ke kelas sekarang?” Seila berujar cepat ketika melihat Pak Anton yang sedang menarik napas panjang. Dengan sekali lirikan tajam pria itu langsung menggeleng cepat, “Enak aja, buka dulu kaus kaki kamu. Baru boleh masuk!” Titahnya dengan emosi yang sama.
Seila memejamkan matanya rapat-rapat, menahan kesal tentu saja. Dengan berat hati gadis itu membungkuk lalu membuka satu persatu sepatu nya. Masa bodoh dengan kaki nya yang akan lecet, Seila hanya berpikir untuk segera kembali ke kelas dan mendaratkan diri pada bangkunya yang nyaman.
Namun belum sempat tangganya menyentuh kaus kaki, tiba-tiba sebuah tangan kekar menahan pergerakan nya kuat-kuat. Nyaris jatuh karena terkejut Seila menepis tangan itu dalam sekali hentakan.
“Jangan dilepas, nanti lecet.” Ujar sang pelaku, walau terdengar datar namun bagi Seila nada bicaranya itu terkesan sangat memerintah. Seila memberanikan diri untuk menatap iris tajam itu, mencoba berinteraksi secara batin lewat ekspresi wajah. Seila harap, untuk saat ini Levine jangan terlalu berlebihan dalam bersikap kepadanya.
“Levine, jangan sok jagoan kamu!” Pak Anton kembali berujar tegas.
Benar, seharusnya Levine diam saja tidak perlu perhatian begitu hanya untuk membuat nya luluh. Sudah cukup kejadian kemarin membuat nya kecewa. Jangan ditambah dengan sikapnya yang tiba-tiba perhatian karena khawatir akan kaki nya. Bisa-bisa Seila gagal dalam pertahanan nya.
Tanpa mempedulikan tatapan intimidasi pemuda itu Seila kembali pada kegiatan nya–Membuka kaus kaki kemudian membuang benda itu ke tempat sampah. Tidak menggunakan kaus kaki seharian tidak akan membuat nya lumpuh bukan?
“Sudah, Pak.” Ujar Seila setelah memakai sepatu nya kembali, ketara sekali wajahnya menampakkan ketidak nyamanan. Tetapi tanpa belas kasihan pria paruh baya itu hanya mengangguk puas seraya menyuruh gadis itu untuk segera angkat kaki.
Dengan senang hati Seila menuruti perintah itu. Berlama-lama disana hanya akan membuatnya seperti terkurung dalam penjara. Berlebihan? Tidak, itu karena salah satu aura dari ketiga pemuda itu yang terlalu mendominasi, Seila tidak nyaman.
Di sisi lain, seorang pemuda hanya bisa diam menatap punggung kecil itu yang berjalan menjauh. Muncul kembali rasa bersalah saat melihat wajah yang biasa tersenyum ceria kini berubah menjadi sendu tidak bersemangat. Salahkan dirinya yang lupa akan janjinya sendiri untuk menjemput gadis itu sepulang les.
“Keruangan Bapak saat jam istirahat pertama.” Akhirnya keputusan itu keluar setelah sekian lama Roland dan Ezra menanti dengan rasa kesal. Bahkan Ezra sampai hati ingin menjejalkan kaos kaki hitam milik Seila pada mulut itu yang baru saja berhenti berbicara.
Berbeda dengan Levine yang hanya diam dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah mendengarkan dan mengerti. Padahal nasehat itu sama sekali tidak masuk kedalam indera pendengarannya. Ia terlalu kalut akan masalah yang ada, walau terlihat sepele namun dampak yang dirasakan cukup membuatnya merasa bersalah seharian.
Dalam perjalanannya menuju kelas, tak sedikitpun Levine mengeluarkan suaranya. Bahkan saat Roland bertanya tentang rencananya sepulang sekolah atau Ezra yang menanyakan kabar sepupu perempuan nya, bahkan saat Bu Lena menegur ketiganya di depan kelas karena datang terlambat.
Pemuda itu tetap diam dengan wajah datar. Perasaan janggal dengan pikiran yang penuh oleh gadis yang baru saja mengabaikan nya, membuat Levine kini seperti kehilangan gairah nya.
Levine benar-benar tidak terima dengan perlakuan itu. Kesalahannya memang fatal karena sudah menabur janji yang tidak bisa ditepati. Hingga gadis itu harus pulang larut malam dalam keadaan basah kuyup. Levine mengusap bagian belakang kepalanya kasar, memikirkan itu membuat rasa bersalah dirinya semakin menjadi. Levine harus segera berbicara atau dirinya akan menjadi tidak waras karena terlalu sering diacuhkan oleh gadis itu.
Levine mengeluarkan benda persegi dari dalam saku seragamnya, berniat untuk mengirim beberapa pesan teks kepada sang gadis. Terlihat di dalam daftar kontak tersebut, terdapat sebuah nama yang berada diposisi teratas. Segera ia menekan nama tersebut dan mulai mengetikkan pesan singkat.
“Gue tunggu di aula sekarang.“
07.49 am
Levine menyimpan tangan didagu dengan fokus yang masih menatap layar ponsel. Berharap jika pesan itu akan segera terbalas. Benar saja, tak lama setelah pesan itu terkirim, muncul sebuah notifikasi dengan nama pengirim ‘Seila’.
“Gak bisa, gue baru aja masuk kelas.“
07.50 am
Melihat balasan dingin dari gadis itu membuat Levine kembali geram. Tanpa sadar Levine melempar ponsel itu ke meja yang membuat beberapa pasang mata menatap nya. Beruntung Bu Lena tidak mendengar suara benturan itu karena terlalu sibuk memberi perhatian khusus pada salah satu siswa yang duduk di deretan bangku depan.
“Lo kenapa, Vin?” Ujar Roland berbisik dengan hati-hati saat melihat wajah masam pemuda itu. “Gue yakin ini pasti karena Seila nyuekin lo lagi ‘kan.”
Levine mendelik malas dan Roland tersenyum penuh kemenangan, dugaannya benar.
“Semalem emang lo gak minta maaf?” Roland kembali bertanya namun respon yang didapat adalah Levine mengusap tengkuknya dan mengehela napas kasar.
“Gue yakin enggak. Lo kenapa sih Vin—” Ucapan itu terhenti saat sebuah suara benda yang terbentur keras mendominasi ruangan yang cukup sepi. Bahkan sekarang terbilang sangat sepi karena tidak ada yang berani bersuara kecuali Ezra yang terkejut dan berlatah dengan lantang. Sial.
Chapter 2
Seila hampir saja melompat kegirangan melihat keadaan kelasnya yang ramai. Pertanda jika guru sejarah nya itu tidak datang untuk mengajar. Dengan senyum lebar ia berlari secepat kilat menuju bangku miliknya yang berada di deretan tengah.
“Waw! Tumbenan telat, huh?” Suara cempreng milik gadis berambut sebahu itu menyapa hangat.
Seila terkekeh malu, “Gue kena razia sama Pak Anton.”
“Lo dirazia? Demi apa?” Claudia tertawa puas, akhirnya gadis itu memiliki tempat di buku pelanggaran sekolah.
“Mana lagi, gue ketemu Levine dan kawan-kawan nya.” Seila mendadak murung mengingat kejadian tadi. “Mendung banget pagi gue ini Ce.”
“Namanya juga jodoh, pasti terus dipertemukan dalam kondisi apapun.”
“Apaan banget, lebay lo.” Seila terkekeh begitu pun Claudia, ia kembali menggoda gadis itu.
“Oiya, lo masih marahan sama tu cowok?”
Seila mendengus malas, “Tau deh, sampe sekarang aja dia nggak ada klarifikasi kenapa dia nggak jemput gue kemarin.”
Claudia berdecak kesal dengan tangan mengepal. “Sakit tu cowok. Awas aja kalo ketemu!”
Tiba-tiba sebuah sahutan yang terdengar menggelegar dari arah pojok hingga membuat seluruh atensi seisi kelas jatuh pada pemuda yang sedang berdiri dikursi nya sembari mengangkat ponsel hitam miliknya.
“Demi gue balikan sama Claudia! Levine, Roland, Ezra bawa mobil ke sekolah?” Ujar Rio sang ketua kelas sekaligus mantan kekasih Claudia.
Dari kejauhan, layar itu menampilkan sebuah foto penampakan tiga orang pemuda yang sedang berdiri dengan gagahnya, seorang pria paruh baya yang sedang menegur dengan ekspresi sangar, dan dirinya yang terlihat.. seperti patung pancoran.
Seila meringis dalam hati, kenapa harus ada sosoknya difoto itu? Membuat malu saja.
“Mimpi lo! Heh cowo gila, gak usah bawa-bawa nama gue disumpah serampah lo ya!” Claudia menyahut pedas, menolak mentah-mentah harapan tulus yang diucapkan Rio secara spontan.
Rio tertawa mengejek, menatap Claudia dengan wajah menggoda. “Gak usah jual mahal, mau tapi malu kan lo?”
Claudia melotot tidak terima dengan tudingan yang diberikan pria tampan berwajah kalem–yang sebenarnya sangat tidak sepadan dengan sikapnya yang tengil dan banyak bicara. “Gak usah kepedean lo! Jijik tau nggak?”
Rio kembali berdecih melihat tingkah laku mantan kekasihnya itu yang masih terlihat imut saat mengomel, “Tidak perlu saling membenci, jika gagal, setelah mencintai.”
Entah dari mana Rio mengambil kutipan itu yang pasti pertengkaran itu semakin menjadi antar keduanya hingga membuat suasana kelas kembali ramai.
Seila terkekeh, muncul rasa senang di dalam hatinya melihat Rio dan Claudia yang tidak pernah berubah. Bertengkar karena hal kecil dan kemudian akan akur kembali seperti tidak ada yang terjadi. Pikiran itu membuat Seila merenung. Ia merasakan perbedaan besar antara dirinya dan Levine yang akan selalu bertengkar hebat karena hal sepele.
Tunggu, kenapa jadi membicarakan hubungan nya dengan Levine?
Tanpa sadar Seila menepuk jidat dan merutuki dirinya sendiri. Untuk apa dia mempedulikan hal itu, lagi pula itu wajar, pertengkaran seperti itu memang umum dikalangan pertemanan bukan?
Sebuah getaran notifikasi dari dalam jaketnya berhasil membuyarkan lamunannya. Seila merogoh kantung jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda persegi, ia menatap nanar layar ponselnya.
“Gue tunggu di aula sekarang.“
07.49 am
Tiba-tiba Seila merasakan bulu kuduk nya meremang, gadis itu menghela napas berat, bagaimana bisa menemui nya dalam kondisi seperti ini? Tidak-tidak, ia belum siap bertemu dengan Levine. Dengan gemetar dan berat hati Seila menolak halus ajakan pemuda itu untuk saat ini.
“Gak bisa, gue baru aja masuk kelas.“
07.50 am
Seila mengetuk-ngetukan jarinya, ia menyerngit heran.
Tidak ada balasan lain, Levine hanya membaca pesannya. Padahal ia mengira jika pemuda itu akan bertindak nekat dan memaksanya.
Seila mendengus kesal, hanya karena sebuah pesan singkat pemuda itu kini berhasil membuat dirinya serba salah. Tapi bagaimana pun, rasa lega dari dalam hatinya tidak bisa ia pungkiri. Bagus juga sih karena ia tidak dibuat pusing oleh omelannya nanti.
Seila merenggangkan tubuh nya, ia merasa suntuk karena tidak ada kegiatan apapun selain melihat Caludia yang masih berdebat dengan Rio. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dalam perjalanannya seorang diri, Seila bersenandung dengan tenang dan damai. Terlihat ketara jika ia sedang menikmati waktu nya. Hingga sebuah tangan menariknya secara tiba-tiba hingga membuat dirinya terlonjak kaget.
Seila menolehkan pandangannya. Iris matanya mendapati seorang pemuda berwajah masam dengan rambut berantakan yang tengah menatapnya geram.
“Anteng ya lo, bersenandung dengan ria sementara gue mati-matian nahan emosi ngadepin tingkah lo.” Pemuda bersurai coklat itu berujar sinis.
Seila menepis kasar tangan itu, “Apa-apaan sih, Lev.”
Pemuda itu berdecak pinggang lalu berujar dengan nada mengejek, “Lo bilang, gak bisa ketemu gue karena baru aja masuk kelas. Tapi apa sekarang? Keluyuran dengan bebas?”
“Lo bohong, La.” Levine menekankan kata itu. Wajahnya berubah datar dengan rahang yang terlihat mengeras kaku.
Jujur Seila merasa teriris saat Levine menuding nya seperti itu. “Gue emang baru masuk kelas dan sekarang gue mau ke perpustakaan. A-ada perlu.”
Seila mati-matian menahan rasa gugup. Demi apapun, tatapan yang Levine berikan benar-benar mengintimidasi nya. Ia bahkan sampai tergagap saat berbicara padahal ia sedang tidak berbohong. Keterlaluan, bagaimana bisa Levine memperlakukan dirinya seperti ini?
“Keperluan mendesak apa sampe bikin lo menghindar dari gue?”
Mati saja Seila.
Levine sudah tidak bisa diajak kerja sama.
Seila memilih diam dan menerima setiap ucapan tajam pemuda itu. Lagi pula mau membela diri pun percuma pemuda itu tidak akan dengar, tidak akan mengerti.
Levine tetaplah Levine. Manusia batu berhawa kutub. Bersifat keras kepala, suka mengatur dan yang paling menyebalkan adalah ia selalu merasa bahwa dirinya itu benar.
“Cukup ya, Lev. Sekarang gue udah ada didepan lo. Jadi apa yang mau lo obrolin?” Seila menyela dengan cepat, tidak ingin mengulur waktu untuk berlama-lama dengan makhluk buas dihadapannya.
Pemuda itu terdiam, terlihat berpikir dan kemudian mengulurkan tangannya yang tengah membawa sebuah kantong plastik. Seila menatap ragu, menebak-nebak benda misterius apa yang ada di dalamnya.
“Bukan bangke tikus, gak usah jijik gitu ngeliatnya.” Levine berujar dingin.
Seila tertohok mendengar ucapan konyol pemuda itu. Siapa juga yang berpikir demikian? Seila menatap malas pemuda dihadapannya. “Buat gue?”
Levine kembali menatapnya datar kemudian menghela napas berat, “Lo pikir?” Ujar Levine menaikan nada bicaranya, kesal sendiri melihat Seila yang ragu-ragu begitu.
Terpaksa Seila mengambil bongkahan kecil itu, dari pada pemuda itu mengomel dan mengatainya mahluk lamban ‘kan. Seila sedikit meraba-raba. Pelan tapi pasti, akhirnya ia membuka kantung plastik itu. Dan betapa terkejutnya saat matanya menemukan sepasang kaus kaki berwarna putih dengan cap sekolah di bagian pinggir nya.
Matanya tentu saja berbinar, ia tidak menyangka Levine akan memberikan benda yang sebenarnya tidak terlalu ia butuhkan. Namun niat hati pemuda itu yang tulus membuat Seila jadi luluh juga.
“Makasih, Lev.”
Seila kembali melihat kaos kaki itu dan tersenyum. Walau berwajah datar bak pijakan kaki atau beraura gelap bak malaikat pencabut nyawa, siapa kira pemuda seperti nya bisa berlaku manis?
“Dipake bukan diliatin, gue ambil lagi nih.” Ancam pemuda itu dengan nada yang sedikit lebih tenang, tidak seperti sebelumnya yang seperti menagih hutang.
Seila menarik cepat benda itu, memeluk benda itu seolah itu adalah barang berharga. “Enak aja! Ikhlas dong kalo ngasih tuh!” Omel Seila mempoutkan bibinya.
Kemudian ia menduduki salah satu bangku panjang yang memang tersedia disetiap depan kelas. Ia membuka sampul plastik itu dan mengeluarkan isinya. Ia membuka sepatu dan mulai memasangkan satu persatu kaus kaki itu dengan sangat hati-hati, terasa pas dan hangat.
Selesai dengan kegiatan itu, Seila berdiri dan menatap Levine yang tengah terpaku menatap pada ujung kaki nya.
“Sorry, La. Gue yakin, itu gak cukup buat nebus kesalahan gue semalem. Tapi gue harap, lo bisa maafin gue.” Levine berujar pelan, beruntung indera pendengaran Seila masih mampu menjangkau suaranya. “Gue janji gak akan ngulang kesalahan yang sama.”
Seila tersenyum, tidak menyangka jika Levine akan terlihat menyedihkan saat meminta maaf. Lagi pula Seila juga tidak terlalu menyalahkan pemuda itu karena ia tidak bisa menjemputnya. Seila hanya merasa kesal dan marah karena pemuda itu tidak mengabarinya lebih dulu, hingga membuat nya berjalan menyusuri jalanan yang panjang ditemani derasnya hujan yang begitu dingin dan menyiksa. Tapi, lupakan kejadian itu.
Seila kembali tersenyum namun kini terlihat lebih lebar. Dengan wajah berseri dan mata yang berbinar, Seila mengangkat tangannya dan menepuk pelan lengan kekar milik pemuda dihadapannya.
“It’s okey..”
Chapter 3
Seila berjalan menyusuri koridor bersama beberapa teman wanita nya yang mengekor tepat dibelakang. Perjalanan menuju kantin dipenuhi gelak tawa dengan pembahasan mengenai betapa payahnya Alvin, salah satu teman kelas nya dalam melakukan pendekatan kepada seorang gadis.
“Alvin sama bego nya kaya Rio.” Ujar Claudia berapi-api.
“Iya, sok tahu banget soal hubungan. Padahal dia baru aja putus sama lo ya, Ce?” Casey langsung menebak Claudia dengan pertanyaan.
Claudia yang masih sibuk merutuki kedua pemuda itu, tiba-tiba saja melotot dan berdecak pinggang lalu berujar dengan tegas. “Bahas itu lagi, gue kuburin lo hidup-hidup.”
Tawa keempatnya kembali pecah mendengar ancaman konyol itu. Entah apa yang terjadi pada mereka minggu lalu yang jelas Claudia hanya beralasan jika Rio selalu berbohong dan karena itu ia mengakhiri hubungannya.
Sesampainya dikantin, keempat gadis itu langsung menduduki deretan bangku bagian belakang. Namun baru saja Seila mendaratkan tubuhnya mendadak ia merasakan nyeri diperutnya hal itu membuat Seila merintih dengan mata terpejam.
“Lo kenapa, La?” Claudia berujar khawatir.
“Perut lo sakit?” Mauren ikut menyahut. Seila mengangguk pelan diiringi senyum tipis yang ketara sekali terlihat sedang menahan sakit.
“Iya, tapi gapapa kok, biasa hari pertama.”
Seila menarik napas dalam saraya membenarkan helaian rambut yang jatuh menutupi wajahnya. Disamping itu, sesekali Seila menekan-nekan perutnya menggunakan salah satu tangannya dengan harapan rasa sakit itu akan menghilang. Namun nyatanya hal itu tidak ampuh sama sekali yang ada sensasi itu semakin membuatnya sakit bahkan hingga ke bagian kepala.
“Serius?” Ulang Casey menyelidik tidak percaya, namun anggukan menyakinkan Seila membuat Casey tidak lagi bertanya. Lagi pula Seila tidak tega membiarkan teman-temannya khawatir disaat jam makan siang karena itu Seila berusaha menutupinya dengan menyuruh ketiga temannya untuk segera membeli makanan nya masing-masing.
“Bentar deh, itu Ezra kan?” Casey berujar sebelum ia berdiri, kemudian ia menunjuk kearah empat orang pemuda yang tengah berjalan membelah kerumunan. Celetukan Casey memaksa Seila, Mauren dan Claudia mengikuti arah pandang gadis itu, “Tumbenan pada ke kantin, full team lagi.” Lanjut Casey keheranan.
Detik selanjutnya Claudia dibuat geleng-geleng, ia heran melihat beberapa siswi tengah asik menatap keempatnya dengan mata berbinar serta mulut yang sedikit menga-nga.
“Kampungan,” Cibir Claudia sinis.
Benar, tidak ada yang bisa mengabaikan aura keempat nya. Tidak heran jika banyak gadis yang tergila-gila bahkan sampai rela menjatuhkan harga dirinya agar dijadikan kekasih dari salah satu nya.
Seila jadi ingat saat ia tak sengaja memergoki Levine dikoridor yang sepi dengan salah satu siswi juniornya yang mungkin saat itu sedang menyatakan cinta. Karena kejadian itu Seila jadi tahu betapa kejamnya Levine saat menolak seseorang. Ia bahkan sampai hati melemparkan sebuah kotak coklat pemberian siswi itu ke dalam tempat sampah dan merobek sepucuk surat yang Seila yakin Levine belum membacanya sama sekali.
Melihat sikap kasar itu Seila memberanikan diri untuk angkat bicara dan menegur pemuda itu dengan harapan jika nantinya Levine akan sedikit lebih lembut. Namun karena sifat Levine yang keras, membuat niat baik itu jusru berbalik menjadi sebuah bencana. Kedua nya bahkan sampai bertengkar hebat dan berakhir saling mendiami selama satu minggu penuh.
Suara Casey yang memanggil para pemuda itu untuk mengajaknya duduk bersama membuat bayangan dikepala Seila buyar seketika. Rupanya ia baru sadar jika dihadapannya ini sudah ada seorang pemuda yang tengah berdiri menatapnya, dikala teman yang lainnya sudah duduk tenang.
Melihat hanya Levine yang masih berdiri, Seila mengerutkan kening heran seraya terkekeh dan berujar. “Duduk dong, Lev.”
Levine menurut dan mengambil tempat disamping Ezra. Setelah itu semua tampak antusias berinteraksi satu dengan yang lain. Terkecuali Levine yang hanya akan berbicara ketika ditanya saja. Sisanya ia memilih diam dan sesekali melirik gadis dihadapannya yang sedang serius mendengarkan bualan pemuda disampingnya.
“Kenapa lo nggak makan La?” Tanya Ezra setelah menyadari jika hanya Seila yang tidak sibuk membicarakan menu makan siang hari ini.
“Gue masih kenyang.” Jawab Seila singkat, Tidak kenyang juga sih, hanya saja itu alibi karena perutnya menolak untuk diberi asupan.
Lagi pula ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya dihadapan para lelaki itu bahwa ia tidak nafsu makan karena sakit perut pada hari pertamanya. Bisa-bisa Ezra meledeknya dan bertanya hal konyol seperti, “Lo pake popok kan? Popok lo bersayap atau ngga? Gue saranin pake yang panjang La, biar gak bocor.” Seila menggeleng cepat, memikirkannya saja membuat dirinya bergidik ngeri.
Ezra menatap curiga, “Lo diet?”
“Sembarangan, enggak lah.” Sanggah Seila cepat dan Ezra mengangguk, “Bagus lah, badan lo kan udah kaya lidi, jadi diet-diet gitu gak perlu.”
Seila menga-nga mendengar penuturan pemuda dihadapannya. Badan lidi? Seila tidak terima.
“Nggak usah marah, masih untung gue bilang badan lo kaya lidi dari pada kekurangan gizi, ya ‘kan? Nggak tega gue sama orangtua lo.” Sambung Ezra berujar tanpa beban.
Pernyataan Ezra berhasil memancing Seila untuk melakukan perlawanan. Walau dalam konteks bercanda tetap saja pertengkaran kecil itu tidak bisa dihindari. Bahkan saking hebohnya, Ezra terlihat hampir jatuh dari kursinya karena tawa yang meledak-ledak melihat Seila yang tengah mengomel. Beruntung, detik itu juga Levine dengan sigap menarik tangan pemuda itu. Sontak kejadian itu membuat tawa orang-orang disekitar pecah.
“Banyak tingkah sih loo!” Cibir Claudia disela tawanya.
“Hati-hati dong Zra.” Mauren menyahut penuh perhatian.
“Mampus, harusnya lo beneran jatoh, kali aja otak lo jadi bener lagi kan?” Casey berujar sadis.
“Ganggu anak orang mulu si lo!” Lingga ikut menyudutkan.
“Seneng gue jatoh seneng?” Ezra berujar sebal dengan wajah masam.
Levine, sang penolong hanya memutar bola mata malas. Ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ezra memang terlalu banyak tingkah. Tak heran jika akhirnya pemuda itu akan mendapatkan kesialan secara mendadak seperti tadi karena ulah nya sendiri.
Perhatian Levine kini teralihkan pada sosok dihadapan nya. Ia ikut tersenyum melihat wajah ceria gadis itu. Muncul rasa nyaman dan teduh saat mata ranun nya itu membentuk seperti bulan sabit. Cantik, pikirnya.
Namun atensi pemuda itu kembali ditarik lebih jauh. Levine memicingkan matanya, saat ia baru saja menyadari ada yang tidak beres dari Seila. Di lihatnya wajah itu sedikit memerah belum lagi salah satu tangan nya yang berada diperut. Muncul sebuah perempatan pada dahi Levine saat Seila tiba-tiba meringis kesakitan. Hal itu semakin membuat dirinya curiga. Dan benar saja, selang beberapa sekon kemudian dugaan itu diperkuat saat Seila tiba-tiba berdiri dengan pernyataan bahwa dirinya akan pergi ke UKS.
“Mau gue anter La?” Dengan cepat Ezra menawarkan diri saat gadis itu hampir saja berjalan melewati nya.
Seila menggeleng cepat. “Gak perlu, gue sebentar kok.” Ezra mengangguk tidak ambil pusing dan membiarkan Seila pergi begitu saja.
Benar ‘kan dugaan nya, Levine mengetuk-ngetukan jari telunjuknya pada meja. Walau kecurigaan nya benar, ia masih merasa tidak puas dengan itu. Ia masih penasaran dengan alasan kepergian Seila ke sana. Gadis itu sakit apa? Separah apa? Pertanyaan itu kini berputar dalam benaknya.
“Seila kenapa, Ren?” Ujar Levine saat mata Mauren tak sengaja tertangkap sedang menatapnya.
“Seila? Biasa lah Vin, hari pertama.” Jawab Mauren dan Levine mengangguk walau masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari ‘hari pertama’ itu.
“Separah itu sampai ke UKS?” Levine kembali bertanya entah pada siapa yang jelas ada sebuah sahutan yang terdengar begitu arogan.
“Parahlah makanya ke UKS, udahlah mending lo samperin aja noh, siapa tau dia butuh bantuan.” Ezra berujar jengkel.
“Dan sebagai calon pacar yang baik, harusnya lo susul dia ke sana Vin. Kali aja Seila mendadak pingsan, terus ditolongin sama cowok cabul, gimana?” Sahut Roland mendramatisir keadaan.
Calon pacar? Levine tertawa dalam hati, tidak mungkin.
“Iya Vin, dari pada lo khawatir gak jelas di sini kan?” Ujar Casey ikut memberi saran.
Semua orang pasti bisa menilai dan melihat bahwa ada sesuatu yang istimewa diantara keduanya. Mulai dari saling memperhatikan, memberi perhatian lebih, hingga perlakuan-perlakuan khusus kecil lain nya. Dan karena hal itu yang terlihat sangat jelas, hampir satu sekolah berasumsi bahwa kedua nya sangat cocok untuk menjadi sepasang kekasih. Selain cocok dari segi fisik, secara sifat pun rasanya mereka bisa saling melengkapi.
Levine termenung, jika pandangan orang lain begitu indah saat menilai itu semua, lalu bagaimana dengan pandangan dari dirinya sendiri? Levine masih tidak tahu pasti. Karena rasanya, ia tidak sedang mencintai siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri.
Kembali mengingat kondisi mengkhawatirkan gadis itu, Levine kini dilanda dilema. Harus ‘kah ia pergi ke sana atau tetap menunggu nya di sini? Namun rasa khawatir yang menyelimuti hatinya tidak bisa ia hindari. Ia juga terlalu penasaran dengan keadaannya. Secepat kilat Levine berdiri dari tempat nya, bergegas pergi tanpa pamit guna menghampiri Seila.
Dalam langkah yang membawa rasa gundah, kini Levine tiba di sebuah pintu besar yang bercat putih. Levine menatap pintu itu sejenak, berpikir apa ‘kah ini tindakan yang tepat, namun perlahan tapi pasti ia mulai mengulurkan tangan nya dan membuka pintu itu secara perlahan. Benar aja, saat pintu tersebut terbuka sorot matanya langsung tertuju pada seorang gadis yang tengah berdiri kaku dengan pandangan terkejut.
Chapter 4
Dalam perjalanannya menuju UKS, rasa keram pada perutnya itu perlahan-lahan semakin terasa. Seila sesekali menghela nafas panjang, hari pertama memang selalu menyakitkan. Gadis itu bergumam lirih sebelum sebuah suara yang tak asing menyapa indera pendengaran nya. Seila menoleh kebelakang, ia mendapati seorang pemuda jangkung berseragam olahraga itu tengah tersenyum hangat.
“Nathan, gue kira siapa.” Seila membalas senyum cerah pemuda itu.
“Lo mau kemana?”
“Ke UKS, lo sendiri gak ke kantin gitu?”
Nathan menggeleng. “Gue mau olahraga soalnya, by the way lo sakit?” Ujar Nathan seraya menatap curiga. Kemudian tanpa permisi tangan pemuda itu terulur dan mendarat tepat di dahi Seila.
Seila membelalakan matanya terkejut dengan tindakan yang tiba-tiba itu. Jatungnya sedikit berdegup karena posisi Nathan yang terlalu dekat. Seila bahkan bisa merasakan helaan nafas pemuda itu menyapu halus permukaan wajahnya.
Seila meraih tangan Nathan dengan gugup dan menurunkannya secara perlahan, “Sakitnya bukan disitu Nat.”
Nathan mengerutkan kening nya. “Terus dimana?”
Seila terkekeh seraya menepuk-nepukan tanganya pada perutnya. “Di sini.”
Pemuda itu terkekeh sambil menganggukkan kepala nya. “Yaudah, gue anter ya, sekalian gue juga mau ke ruang olahraga.” Seila tersenyum dan mengangguk, kini mereka berjalan berdampingan.
Dalam perjalanannya dapat dihitung sudah beberapa banyak siswa-siswi yang bergantian menyapa pemuda itu. Tidak heran juga sih, karena Nathan itu sangat populer. Selain menjabat sebagai Kapten Basket sekolah, pemuda itu juga dikenal sebagai putra sulung dari Edwin Pramusa. Beliau adalah pimpinan yang menjabat sebagai Kepala Sekolah di Lentera International Highschool.
“Wah, lo udah kaya Idol aja, banyak yang nyapa sana-sini.” Celetuk Seila ringan.
Nathan terkekeh dan menggeleng. “Gak gitu juga La, sejauh ini gue anggap sapaan mereka cuman sebagai formalitas semata.”
Seila menyerngit tidak mengerti. “Maksudnya?”
“Coba lo pikir, kalau gue bukan anak Kepala Sekolah atau Kapten Basket, gue yakin gak akan ada yang nyapa gue sebanyak itu.” Nathan menyelesaikan ucapan nya saat mereka sudah berada tepat di depan sebuah pintu besar bertuliskan UKS.
Seila tersenyum, dimatanya Nathan adalah sosok yang rendah hati, ramah dan juga lemah lembut. Itulah kenapa saat pertama kali mengenalnya, Seila langsung menyukai pemuda itu.
“Kalau gitu, gue duluan ya La. Gue harus ngambil beberapa alat perlengkapan olahraga.”
“Makasih Nat.”
Nathan mengangguk. “Maaf gue gak bisa jagain lo secara penuh. Tapi kalo lo butuh sesuatu, kabarin gue aja. Gue bakal stand by buat lo.” Pemuda itu kembali tersenyum manis. “Lagian jarak dari lapang ke UKS itu deket banget, bahkan lo bisa liat gue dari dalem ruangan ya ‘kan. Tinggal lo pilih aja tempat paling pojok di sebelah kanan.” Sambung nya.
Bagus, Seila kini menjerit kesenangan dalam hati. Suara selembut madu itu berhasil membuatnya meleleh tak berbentuk dan melupakan rasa sakitnya walau sejanak. Nathan benar-benar sangat manis dan gentleman. Tanpa sadar kedua sudut bibir gadis itu tertarik keatas, Seila tersenyum lebar.
“Iya, iya. Udah lo pergi aja, nanti diomelin Pak Budi kalo lo sampe telat.” Nathan menyetujui ucapan itu dan segera beranjak meninggalkan Seila yang masih membeku ditempat.
Seila menatap punggung kokoh itu hingga menghilang di ujung koridor. Setelah itu ia membuka pintu besar berwarna putih, dilihatnya tirai-tirai menjulang tinggi berwarna hijau mint yang menyekat perbagian tempat tidur.
Tanpa mengulur waktu Seila menghampiri lemari kaca yang tembus pandang, irisnya bergerak menyapu setiap rak yang dipenuhi oleh segala macam jenis obat-obatan. Ia mengerutkan keningnya dan menghela nafas pelan saat dirinya tidak kunjung menemukan alat kompresan.
Seila beralih memperhatikan sekililing nya, ia tidak boleh menyerah. Irisnya kembali bergerak hingga ia mendapati sebuah lemari kayu. Segera ia berlari kecil menuju benda besar yang berdiri kokoh itu. Namun saat hampir sampai dalam beberapa langkah lagi, Seila dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka.
Sontak gadis itu menolehkan pandangannya kearah sumber suara, dengan wajah yang masih sama terkejutnya, Seila mendapati seorang pemuda yang tengah menatap nya kikuk.
“Levine?” Nama itu keluar dari mulutnya begitu saja. Dilihatnya pemuda itu tengah berdiri diambang pintu dengan satu tangan yang berada di saku celana nya. Beberapa detik selanjutnya Levine berjalan gontai mendekat hingga ia kini sudah berada tepat dihadapannya.
“Lo gapapa?”
Pertanyaan itu sukses membuat sebuah perempatan dikening Seila. Ia heran dengan tingkah Levine yang dirasa aneh begini. Bukan nya menjawab Seila justru balik bertanya, “Ngapain lo ke sini?”
“Gue nanya duluan, jawab dulu gitu, kebiasaan malah balik nanya.” Ujar pemuda itu kesal, Levine menatap malas gadis dihadapan nya yang tengah menekukan bibirnya. “Lo butuh sesuatu?”
Seila terhenyak mendengar pertanyaan tersebut. “Gue butuh alat kompres.”
Tanpa banyak bicara pemuda itu beringsut pergi tanpa perintah menuju lemari kayu. Kemudian membuka pintu yang sedikit rapuh itu dan detik selanjutnya ia sudah mengeluarkan sebuah alat kompresan berwarna merah. Sudah Seila duga, alat itu pasti ada di sini.
“Ini kan?” Tanya Levine setelah menutup pintu lemari.
“Iyaa, makasih Lev.” Tangan Seila terulur untuk mengambil benda itu berniat untuk mengisinya dengan air panas. Namun Levine justru menarik benda itu dahulu dan membawanya pergi menuju dispenser yang berada di pojok ruangan dekat lemari kaca sebelumnya.
“Lo tunggu aja, biar gue yang isi.”
Seila menurut dan berjalan menuju tempat paling belakang ruangan. Tempat favorit nya saat berada di UKS, dekat dengan jendela besar yang langsung mengarah pada lapangan outdoor. Salah satu alasan terkuat hari ini juga sih, agar ia bisa melihat Nathan yang sedang berolahraga.
Seila mengedarkan padangannya ia mendapati Nathan bersama teman-temannya yang sedang asik mengobrol dibawah pohon besar. Walau tempatnya dari ujung ke ujung, Seila masih bisa mengetahui bahwa itu adalah sosok Nathan. Ia kembali tersenyum mengingat ucapan manis pemuda itu.
Namun senyum itu putar saat Seila merasakan ada sesuatu yang panas dipermukaan kulitnya. Rasa itu semakin terasa hingga membuat Seila menoleh kearah lengannya. Ia mendapati alat kompresan itu yang sudah mengembung dengan sebuah tangan kekar diatasnya.
“Panas Lev!” Protes Seila yang diabaikan Levine karena ia mengikuti arah pandang gadis itu sebelumnya.
“Lo liatin apa sampe senyum-senyum sendiri? Anak MIPA 1? Siapa.. Bagas? Nathan?”
Seila gelagapan, tidak mungkin ia bercerita tentang pertemuan nya dengan Nathan atau tentang ucapan manis pemuda itu. Bisa-bisa Levine mengomel panjang lebar, Seila memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan beralih membaringkan diri di kasur.
Levine menghela nafas berat sebelum memberikan kompresan itu. Levine memutuskan untuk menduduki kursi dan menyenderkan dirinya di sana. Namun tepat saat bokongnya mendarat sempurna, Levine mendadak kembali berdiri dan mengambil sebuah kain tipis yang dijadikan selimut lalu melemparkan benda itu pada wajah sang gadis.
“Apa-apaan sih Lev?” Seila berujar kesal karena terkejut.
“Lo mau pamer sama gue?” Sindir Levine dingin.
Sadar dengan maskud pemuda itu, Seila bangun dari tempat dalam sekali waktu. Ia meringis kembali karena perutnya kembali keram.
“Biasa aja kali, lagian gue udah terlanjur liat daleman lo.” Sahut nya ringan, tanpa rasa bersalah.
Seila membelalakan matanya, nafas nya tercekat, tangannya mengepal kuat-kuat. Seila ingin sekali memukuli pemuda itu dan mencongkel kedua matanya sekarang juga. “Terlanjur? Bilang aja lo sengaja, dasar mesum!”
Levine mengangkat bahu acuh seraya mengambil benda itu kembali lalu menyelimuti Seila, “Salah lo sendiri, buka warung seenaknya.”
Seila mendidih, matanya memerah menahan malu dan kesal yang sudah menjadi satu, rasanya Seila ingin menangis saat ini juga. Levine benar-benar tidak tahu diri. Walau bukan pakaian dalam lapis pertama, tetap saja yang melihat nya itu seorang laki-laki.
Seila menatap pemuda itu jengkel, ia ingin sekali memaki Levine lebih jauh lagi. Namun anehnya mulut nya itu tidak mau di ajak kerja sama.
“Udah-udah, gak usah dipikirin, mending lo istirahat.” Levine kembali berujar santai. Seila mendelik sebal melihat Levine yang sedang bersandar dengan mata tertutup.
Bisa-bisa nya di saat kejadian tragis seperti tadi Levine malah menyuruhnya beristirahat dan tidak memikirkan hal memalukan itu. Gila, gila, gila. Bantin nya berteriak tidak tidak terima. Seila mendengus kesal dengan berat hati ia kembali berbaring memunggungi pemuda itu.
Lebih baik ia menikmati hangat nya kompresan agar kondisi perut nya itu bisa segera pulih. Seila memejamkan mata nya rapat-rapat. Ia berharap akan ada suatu kejadian nahas yang membuat kepala pemuda itu terbentur sesuatu dan melupakan kejadian ‘itu’. Tak lama rasa kesal dan hangatnya kompresan yang menetralisirkan rasa sakit diperutnya berhasil menghantarkan dirinya menuju alam mimpi.
Chapter 5
“La, Laa..” Levine memanggil gadis yang tengah berbaring memunggungi nya, memastikan apakah sosok tersebut ini masih sadar atau tidak. Namun karena tidak kunjung mendapat balasan dan melihat tubuh itu tak kunjung bergeming, Levine mengernyitkan dahi nya heran. Padahal ia baru saja tenang sekitar lima menit tapi gadis itu sudah terlelap juga.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara bel berbunyi, pertanda waktu istirahat telah berakhir. Namun tak sedikit pun Levine mau beranjak dari tempatnya. Kini Levine hanya bisa menatap punggung kecil itu dan terkekeh kecil mengingat kejadian tadi. Jujur, ia benar-benar tidak sengaja melihatnya.
Suara dentingan notifikasi membuat senyum Levine pudar. Ia merogoh kantung seragam nya dan membuka isi notifikasi tersebut. Levine menghela nafas berat setelah membaca pesan dari Ezra.
Levine melirik gadis itu sejenak, harus ‘kah ia meninggalkan nya? Padahal ia berniat untuk tinggal lebih lama agar bisa terhindar dari pelajaran sejarah yang membosankan.
Kembali terdengar suara dentingan notifikasi, kali ini tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Hingga membuat Levine sampai mengupat dalam hati karena takut suara itu akan membangunkan macan yang sedang tidur. Akhirnya Levine memutuskan untuk pergi ke kelasnya dan akan kembali jika bel pulang sudah berbunyi, itu pun kalau Seila masih ada di sana.
Sesampainya di kelas Levine mendapati Ezra, Roland, dan Lingga yang sedang asik bermain game. Levine mendengus kesal sebelum ia menendang bangku miliknya dengan gemas. Hal itu membuat ketiga temannya terkejut bahkan ponsel Ezra sampai ikut terlempar ke meja. Namun Levine tidak peduli, toh ia datang kesini juga karena pemuda itu.
“Levine nggak ada ahlak!” Ezra menggerutu sebal seraya mengambil ponselnya kembali.
Levine tidak mengindahkan ucapan pemuda itu, ia malah membalikan bangku nya menghadap meja Eza lalu berujar datar. “Tasya kenapa lagi?”
“Tasya ngirimin lo makan siang.” Sahut Lingga sembari menyodorkan sebuah kotak berkal berwarna biru.
“Gue kan udah pernah bilang–“
“Dia maksa banget Vin gue aja sampe kena jambak.” Lingga menggerutu sebal mengingat kejadian itu yang membuat harga dirinya jatuh sebagai laki-laki.
Levine menyandarkan punggungnya dan melipat tangan. “Terus dia bilang apa lagi?”
“Pulang sekolah nanti, lo di minta buat ke kelasnya.”
“Ogah gue.” Sahut Levine cepat.
Roland terkekeh, “Karena dia udah tau lo bakal nolak, jadi dia yang bakal nyamperin lo.”
“Gue yakin tuh cewek pasti ada mau nya.” Ujar Ezra. Memang sejak awal Ezra tidak suka dengan Tasya. Di matanya Tasya itu cewek ribet, manja, dan seenaknya. Walau pintar dalam bidang akademik dan dikenal sebagai salah satu primadona sekolah pada angkatannya. Tidak menjadikan gadis itu banyak disukai seperti Grace, kakak kelasnya dulu. Lucunya tidak ada yang tahan dengan prilaku gadis itu kecuali Levine, teman kecilnya sendiri.
“Palingan dia minta anter lo lagi ke sana-sini.”
“Di jadiin ojek selingan.”
“Sampe bikin lo lupa janji sendiri ke kita-kita.”
“Bahkan sampe permasalahan kemarin pun, lo juga kehasut lagi dan malah cabut sama Tasya.”
Teman-teman nya jelas tahu cerita perihal Levine yang mendadak lupa menjemput Seila sepulang les dan malah pergi menghampiri Tasya yang berada dipusat perbelanjaan. Ia beralibi karena Tasya butuh bantuan tenaga manusia untuk membantu membawa beberapa benda elektronik yang cukup besar untuk dibawa ke rumah barunya.
“Yah walau niat lo baik bantuin tuh ne-lampir, tetep aja lo salah karena nelantarin Seila gitu aja.” Lingga menyahut disela permainan game online nya.
Disaat yang lain memojokan pemuda itu, Roland hanya bisa menganggukan kepalanya menyetujui ucapan kedua temannya. Perkataan mereka sudah mewakilkan apa yang ia rasakan selama ini. Roland juga ikut merasa jengkel karena dalam beberapa waktu terakhir Levine semakin dibuat lengket oleh Tasya. Akibatnya, waktu Levine untuk berkumpul dengan mereka semakin berkurang.
“Sinting..” Tutup Ezra dengan suara bas nya. Roland dan Lingga terbahak melihat Levine yang tidak berkutik.
“Senyebelin nya itu cewek, dia tetep temen kecil gue. Jadi sopan dan panggil nama dia yang bener.” Levine memperingati, ia termenung sejenak sebelum akhirnya berujar. “Iya, soal kejadian itu juga gue ngaku salah.”
“Lo ngaku salah tapi lo gak minta maaf sama dia?” Sebuah suara menyela dengan nada sinis.
Levine menaikan sebelah alisnya, ia melirik sosok yang tengah beridiri di samping nya. Owen, sosok pemuda yang dulu nya dikenal sebagai salah satu teman karib Levine, selain Ezra, Lingga, dan Roland. Mereka tidak lagi bersama karena adanya pertengkaran hebat yang terjadi pada bulan lalu menyebabkan hubungan mereka perlahan-lahan menjadi renggang.
Walau begitu, kedua nya tidak saling mengahasut siapa pun untuk berpihak kepada salah satunya. Bahkan Levine dan Owen sepakat membiarkan Ezra, Lingga, dan Roland untuk berteman dengan siapa pun yang mereka mau. Namun dengan satu syarat, mereka tidak boleh ikut campur dalam permasalahan yang ada diantara keduanya.
“Gausah ngurusih hidup gue.” Sahut Levine tak kalah sinis.
Owen berdecak pinggang, “Kalo lo ngaku cowok, seharusnya bertanggung jawab sama apa yang udah keluar dari mulutnya sendiri!”
Mendengar sindiran itu Levine jadi tersulut emosi dan langsung berdiri hingga bangku yang tadi ia duduki menabrak meja. Suara benturan itu berhasil membuat seluruh atensi kelas kini tertuju pada mereka berdua.
Kelas mendadak menjadi hening, tidak ada yang berani angkat bicara termasuk Ezra, Lingga dan Roland. Bukan karena mereka takut, tapi mereka tahu bahwa konflik yang terjadi diantara Levine dan Owen adalah sesuatu yang tidak bisa mereka ikut campuri. Bahkan Levine sendiri yang langsung memperingati ketiganya untuk tetap tutup mulut.
“Kalo lo ngaku cowok, seharusnya mulut lo nggak bacot.” Levine mengulang nada bicara Owen. “Kalo lo nggak tahu apa-apa, mending lo diem dari pada malu-maluin diri sendiri kaya nyokap lo!”
Owen melotot tajam, ia tidak terima jika Levine sudah menyangkut-pautkan nya dengan orangtua. Geram dengan tingkah Levine yang kelewat ngeyel, satu pungkulan berhasil dilayangkan Owen tepat dipelipis pemuda itu.
Levine yang tidak tahu dengan serangan mendadak itu membuat tubuh nya terhuyung kebelakang dan jatuh dikursinya.
Kelas mendadak ricuh, para siswi yang berada di dalam menjererit ngeri menyaksikan kedua nya. Bagai orang yang kesetanan Levine langsung berdiri dan hendak membalas pukulan kepada Owen. Berutung Roland dengan sigap menghadang pemuda itu, walau sedikit kesulitan karena tenaga Levine yang cukup besar saat meronta untuk di lepaskan.
“Maksud lo apa anjing?!”
“Lo kalo dikasih tau jangan ngeyel! Lo pikir dengan sikap lo kaya gitu, orang bakal tahan sama lo?”
Mendengar itu Levine tertawa meremehkan. “Nggak usah sok peduli, gue nggak butuh ceramah dari orang munafik kaya lo.”
Hampir sekali lagi Owen melayangkan satu pukulan, suara dobrakan pintu dan teriakan dari seorang wanita yang memanggil nama keduanya berhasil membuat gerakan itu terhenti.
“Owen! Levine! Apa-apaan kalian?!” Sebuah suara melengking itu memecah ketegangan. Bu Vera, sang wali kelas datang terbirit-birit dengan wajah paniknya. Kini wanita itu sudah berdiri diantara Levine dan Owen. “Astaga Levine! Itu kenapa pipi kamu?”
Levine hanya melirik guru itu sekilas dan kembali menatap Owen. “Tanya aja sama orang yang di depan saya, Bu.”
Mata Bu Vera langsung tertuju pada Owen yang langsung membuang muka. “Kamu pukul dia Owen?!”
Owen terdiam, jujur ia juga terkejut dengan perbuatannya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi?
“Dia ngelunjak Bu.” Tuding Owen datar.
“Lo yang banyak bacot.”
“Lo banyak tingkah.”
“Ngaca!” Levine berujar jengkel.
“Yaampun.. Udah cukuppp.. Ibu pusing! Kalian berani-beraninya masih berantem di depan saya!” Bu Vera menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
“Kalian ikut ke ruangan saya, sekarang juga.” Lanjut guru itu seraya berbalik meninggalkan kelas. Roland melepaskan Levine dari pertahanan nya dan membiarkan pemuda itu pergi yang disusul oleh Owen.
Dalam perjalanannya, tak sedikit pun Owen melepas pandangannya dari punggung kokoh yang berada tepat di depannya. Ia menatap lirih, muncul rasa penyesalan dari dalam lubuk hati nya. Harusnya ia masih bisa menahan diri untuk tidak menghajar pemuda itu. Namun sikap nya yang kelewat ngeyel membuat dirinya kelepasan lagi dan lagi.
Owen tahu pasti, kejadian tadi akan semakin memperburuk hubungannya.
Hingga detik selanjutnya sosok itu berhenti melangkah lalu membalikan badannya. Dapat dilihat ekspresi wajah nya, sangat dingin dan tidak bersahabat. Kini mata elang itu menatap tajam mengintimidasi.
“Sekali itu gue masih ngebiarin lo. Tapi untuk kedua kalinya ini, gue nggak ada ampun.” Ujar Levine memperingati. Setelah mengucapkan itu Levine kembali berjalan meninggalkan Owen yang mematung ditempat.
Chapter 6
Seorang gadis berpiyama motif katun jepang berwarna hijau polos, terlihat tengah terduduk diatas kasur dengan beberapa tumpukan buku majalah dan kertas yang bertebaran mendominasi area sekitarnya. Dengan wajah serius ia menggunting beberapa kertas foto bergambar beberapa tempat destinasi wisata populer. Tak terlewat ada juga beberapa kertas foto yang bergambar lukisan, hasil itu didapatnya saat ia mengunjungi pameran atau galeri, Seila senang mengabadikan benda-benda itu dengan camera digital miliknya.
Setelah tergunting hingga menjadi beberapa bagian Seila mulai menempeli gambar-gambar itu dalam sebuah modul tebal bersampul biru tua yang transparan, tak tertinggal ia juga sedikit menambahkan beberapa pernak-pernik. Rutinitas itu sudah dilakukannya sejak Seila menginjak Sekolah Menengah Pertama hal ini dikarena ia sangat menyukai tempat-tempat yang bertemakan alam dan seni. Terbukti jika ia lebih senang pergi ketempat terbuka yang penuh dengan tumbuhan hijau. Bahkan dekorasi kamarnya pun dibuat dengan tema Biophilic yang memadukan warna putih dan hijau, tak luput kamar nya pun diberi penambahan berbagai macam tanaman hias sehingga membawa kesan yang segar.
Helaan nafas lega keluar sesaat tubuh kecil nya itu direnggangkan. “Akhirnya selesai.”
Jam dinding kini menunjukkan pukul sepuluh malam dan diwaktu seperti itulah rasa kantuk mulai menyerang nya. Seila menguap kecil seraya mulai membereskan tempat tidurnya. Usai memilah sampah dan memasukannya kedalam kantung plastik, Seila bergegas menuruni anak tangga. Namun saat kakinya hendak menginjak anak tangga terakhir, sebuah suara berat yang memanggil namanya membuat langkah itu terhenti.
“Baru selesai?” Ujar seorang pemuda yang seolah sangat tahu dengan kegiatan yang biasa dilakukan Seila. Siapa lagi kalau bukan Kakak lelaki satu-satunya yang menyebalkan, keras kepala, nan cerewet yang bernama Jerrel Mahendra.
Bukannya menjawab Seila justru menatapnya sebal, tak hanya itu Seila mengambil langkah mendekat. Bagaikan badai yang datang tanpa aba-aba, Seila langsung merampas kalengan soda yang sedang digenggam hangat oleh sang Kakak.
“Eh La! Jangan dibuang–Itu jatah terakhir gue bulan in–Seilaa!” Jerrel berteriak histeris kala melihat isi kalengan yang jatuh tanpa hambatan ke dalam bak cuci piring. Tanpa mempedulikan pemuda yang kini berwajah masam, Seila justru tersenyum puas seraya meremas kuat-kuat kaleng merah itu hingga penyok tak berbentuk. Persetan dengan jatah terakhir, kali ini Seila tidak akan tertipu dengan muslihat manusia aneh itu.
“Harusnya nggak kaleng ini aja. Semua sisa yang ada di kulkas itu juga harus dapet eksekusi yang sama.” Ujar Seila berapi-api, ia belari kecil dengan segudang kecurigaan yang tertuju pada kulkas kecil yang berada diatas meja pantry.
Sesampainya Seila langsung membuka pintu kecil itu dan betapa terkejutnya ia mendapati isian kulkas yang dipenuhi kalengan soda. Ia melirik sadis pada sang Kakak yang tengah berdiri mematung. Rasa kesal tak tertahan membuat Seila menutup pintu itu dengan membanting nya.
“Jatah terakhir?” Seila menyahut sinis, rasanya sekarang ia ingin sekali melempari pemuda itu dengan kalengan soda yang belasan jumlah nya.
Jerrel mengacak-acakan rambutnya. Ia gelisah sekaligus takut jika benda yang berwarna merah menggoda itu lenyap akan di tangan adik nya sendiri. Padahal ia sudah bersusa payah untuk memasukan benda terlarang itu ke sini, masa iya dibuang begitu saja, demi apapun Jerrel tidak akan rela. Lagi pula penambahan stok minuman itu bukan tanpa alasan.
“La, La, gue bisa jelasin.. Itu semua gue sediain karena temen gue mau nginep.. hari ini.”
Seila menaikan sebelah alisnya sebelum memincingkan matanya untuk mencari titik celah kebohongan pemuda itu. Namun raut wajah Jerrel yang putus asa, akhirnya berhasil membuat hatinya mencelos kasihan. “Nggak usah sok sedih gitu mukanya, iya deh tererah. Tapi kalo sampe sakit lagi, Seila gamau ngurusin.” Sesudah mengatakan itu, Seila mendelik sebal seraya berjalan meninggalkan Jerrel yang kembali mematung dengan perasaan bersalah.
Jerrel jelas sekali berbohong saat mengatakan jatah terakhir. Padahal secara diam-diam Jerrel masih mengkonsumsi minuman kalengan itu setiap hari. Namun jika berbicara teman yang akan menginap, Jerrel memang tidak berbohong.
Pintu rumah terbuka dan saat itulah desiran angin malam yang mengenai permukaan kulit berhasil membuat Seila merinding sesaat. Ia memutuskan untuk segera menuju bak tempat sampah yang berada di depan gerbang rumah dan membuang bongkahan tersebut dalam sekali lempar.
Selesai dengan itu, Seila kembali melangkah memasuki halaman rumah. Ia sedikit merenggangkan tubuhnya seraya menghirup dalam-dalam udara dingin itu kemudian menghembuskannya dengan perasaan lega.
Beberapa detik kemudian sebuah suara yang memanggil namanya berhasil membuat Seila terkejut. Terlihat seorang pria yang muncul dari halaman belakang rumah.
“Paaak Esa! Ngagetin deh..” Seila merengek dan mencerutkan bibirnya.
Pria berusia itu tertawa, “Bapak kira teh tadi Bi Mira.. eh taunya Lala.”
Seila menggeleng dan terkekeh saat pria tersebut mengira bahwa dia adalah Bi Mira, istrinya sendiri. Pak Esa adalah salah satu pekerja andalan di rumah ini. Beliau bisa dibilang serba-bisa dan terpercaya, sebab sudah puluhan tahun Beliau bekerja di sini, Seila tidak pernah mendengar adanya desas-desus masalah yang dilakukan oleh nya.
“Pak Esa sendiri habis dari mana?” Seila bertanya ringan, namun beberapa detik setelahnya ia mendadak jadi tidak enak hati, “Jangan bilang, habis dipanggil Jerrel diem-diem buat selundupan coca-cola?”
Pria itu kembali tertawa lalu menggeleng cepat, “Tadi Bapak dipanggil Erel, katanya temen nya yang dari Bali itu sebentar lagi sampai. Jadi Erel minta tolong Bapak buat bukain pintu dan sambut tamunya.”
Seila membelalak terkejut, “Loh ternyata hari ini, kirain besok. Pake acara disambut segala lagi, nggak sekalian tabur bunga terus gelar karpet merah?”
Seila tidak habis pikir dengan Kakak lelaki satu-satunya itu, bisa-bisa nya dia memiliki rencana seperti itu untuk menyambut kedatangan tamu nya. Padahal ia tidak pernah melakukan hal yang serupa saat orang tuanya pulang ke rumah. Namun saat pria itu hendak menyahut, sebuah suara klakson mobil berbunyi nyaring hingga membuat kedua nya serentak menoleh kearah gerbang.
Panjang umur, ujar Seila dalam hati.
“Permisi ya La.. Bapak mau buka gerbang dulu.” Pamit Pak Esa yang langsung berlari kecil menuju gebang.
Pagar besi itu dibuka dengan lebarnya, sorot lampu yang menyala tajam dengan suara deru mesih yang terdengar halus membuat mobil sport berwarna hitam itu kini menjadi pusat perhatian Seila. Mobil itu terpakir tak jauh dari tempat Seila berdiri hingga dalam beberapa detik kemudian munculah satu sosok pria jangkung besar dengan kemeja putih bergaris.
Pria itu mengambil langkah gontai mendekati Seila yang tengah berdiri kaku dengan ekspresi panik bercampur canggung. “Lo pasti Seila, adiknya Jerrel ‘kan?”
Dengan senyum tipis Seila mengangguk, dilihatnya sebuah tangan kekar tengah terulur dihadapannya. Seila menatap wajah yang terlihat lelah itu tengah tersenyum lebar. Tak ingin tangan itu tergantung lama, Seila memutuskan untuk meraih tangan itu.
“Salam kenal, gue Daniel.”
Setelah itu keduanya menurunkan tangan dan tautan itu terlepas. Seila kembali tersenyum canggung, mengingat pria itu adalah teman Kakaknya jadi ia harus menjaga sikap dan berlaku sopan. Apalagi perbedaan umur yang mungkin terpaut cukup jauh sekitar empat hingga lima tahun, tapi tidak tahu juga sih, Seila hanya mengira-ngira saja.
“Ayoo masuk..”
Mereka berjalan beriringan memasuk rumah dan tepat saat keduanya menginjakkan kakinya di ruang tamu sebuah suara yang menggelegar membuat Seila dan Daniel tersentak terkejut.
“My Brooo!” Jerrel berujar bersemangat menyambut kedatangan teman kampusnya. Kemudian ia mengambil langkah mendekat seraya merentangkan tangannya, lalu mereka berpelukan ala lelaki.
“Welcome home..”