Penulis : Kirana Raudhatul Jannah
Namaku Cinta, mahasiswa semester dua yang sangat menyukai penelitian.
Bagiku, meneliti adalah cara memahami misteri yang tersembunyi di
balik tabir kehidupan. Jika misteri itu tak kupecahkan, rasanya
seperti keributan yang terus bergema di kepalaku. Namun, siapa sangka,
sesuatu yang begitu kucintai justru membuka luka yang tak pernah
kurasakan sebelumnya,sebuah trauma yang tak pernah kusangka akan
datang.
Semester ini, aku dan lima temanku—Azka, Kiana, Rifki, Sinta, dan
Bilal,mendapat tugas penelitian lapangan dari kampus. Kami harus
meneliti sebuah kebudayaan di salah satu kampung di Toraja yang
bernama Kampung Baruppu. Awalnya aku mengira penelitian ini tidak akan
terlalu sulit, meskipun letaknya jauh. Di sana tinggal pamanku, Wa
Agus, bersama istrinya, Mba Tia. Aku yakin kehadiran mereka akan
mempermudah penelitian kami. Kami bisa bertanya banyak hal, karena
mereka sudah lama menetap di kampung itu.
Keesokan harinya kami berangkat. Perjalanan memakan waktu berjam-jam
melewati hutan, jalan berkelok, dan udara yang semakin dingin. Hingga
akhirnya, kami tiba di gerbang kayu bertuliskan Kampung Baruppu.
Tulisan itu mulai pudar dimakan usia.
“Guys, kayaknya ini deh kampungnya,” ucap Azka, menunjuk papan itu.
“Iya, kayaknya betul,” jawabku sambil menatapnya.
“Rumah uwa kamu di mana, Cin? Kamu tau atau kita cari dulu?” tanya
Sinta.
“Tenang aja, nanti Wa Agus jemput. Aku takut kalau kita jalan
sendiri malah tersesat,” kataku.
Kami menunggu di pinggir jalan. Angin lembut bertiup, membawa aroma
tanah basah. Saat itulah, dari kejauhan, tampak seorang nenek berjalan
tertatih mendekati kami. Tatapannya tajam,menusuk,seolah menyimpan
kebencian. Ia berhenti tepat di depan kami dan mulai berbicara dalam
bahasa Toraja yang tidak kami mengerti.
“Keppe-keppekomi, saekomi lako lili’ tau, anna tilalokomi umpa’dei
alukki, da’ namane’ki’ susi tau mate!”
Nada suaranya keras dan tajam. Kami saling berpandangan, bingung dan
sedikit takut. Rifki, yang memang mudah terpancing emosi, langsung
menimpali.
“Maaf, Nene, maksudnya apa ya?” ujarnya dengan nada kesal. “Kita
baru datang, nggak ngerti yang Nene omongin.”
Nenek itu menatap kami satu per satu, lama sekali, seolah menilai kami
dari ujung kepala sampai kaki. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia
berbalik dan berjalan perlahan meninggalkan kami. Kami diam, berusaha
menenangkan diri, menganggapnya hanya nenek tua yang mungkin sudah
pikun.
Tak lama kemudian, Wa Agus dan Mba Tia datang menjemput. Aku segera
menghampiri mereka dengan gembira.
“Hai Wa, apa kabar? Terima kasih sudah mau menampung kami, maaf
kalau nanti merepotkan,” kataku sopan.
Wa Agus tersenyum hangat.
“Wah, ponakan Uwa makin cantik aja. Nggak usah sungkan, kami malah
senang kalian datang. Rumah jadi ramai.”
“Iya, Cinta. Mba udah masak makanan enak buat kalian,” tambah Mba
Tia sambil tersenyum.
“Oh iya, Mba, maaf, tapi tadi ada nenek-nenek jalan ke arah kami.
Siapa ya?” tanyaku.
“Oh, itu Nenek Sarah. Dia sesepuh di sini. Kenapa, tadi dia
menghampiri kalian?” jawab Mba Tia.
“Iya, Mba. Nenek itu ngeselin banget, ngomong nggak jelas,” celetuk
Rifki.
“Rifki…” tegurku dengan nada pelan tapi tegas.
“I-iyaa, maaf, cuma bercanda, Mba,” katanya cepat-cepat.
Mba Tia tertawa kecil.
“Ah, Cinta jangan galak-galak. Nggak apa-apa, Nak Rifki. Yuk, sudah
sore, kita pulang dan makan dulu.”
Kami pun berjalan mengikuti mereka menuju rumah kayu yang sederhana
namun hangat. Dindingnya menghitam dimakan usia, tapi aroma kopi yang
menyengat dari dapur membuat suasana terasa damai.
Sambil menikmati hidangan, Mba Tia membuka percakapan.
“Cinta, boleh Mba tanya? Kalian meneliti apa di kampung ini?”
“Oh iya, Mba,izin Azka yang menjawab yaa” sahut Azka.
“Kami ditugaskan meneliti budaya yang dikenal dengan nama Ma’nene.”
Sekejap suasana berubah. Wajah Wa Agus dan Mba Tia yang semula ceria
mendadak muram. Mereka saling berpandangan, lalu Wa Agus berkata
pelan.
“Ma’nene memang tradisi kami. Setiap tiga tahun sekali, kami
memandikan jenazah keluarga dan mengganti pakaiannya. Tempat kami
menyimpan jenazah itu disebut Panete.”
Aku bisa merasakan perubahan suasana itu, namun mencoba tetap tenang.
“Jadi, upacara Ma’nene dilakukan lusa ya, Wa?” tanyaku hati-hati.
“Betul,” jawab Mba Tia lirih.
“Lusa kami akan memandikan almarhum kakak Mba, Mba Ayu.”
Suasana mendadak hening. Aku menatap Mba Tia yang berusaha tersenyum,
tapi matanya menyimpan kesedihan yang dalam.
“kami lihat upacaranya nanti, boleh ya, Wa?” celetuk Bilal tanpa
pikir panjang.
“Hush, Bilal! Jangan sembarangan. Kan Ma’nene khusus untuk keluarga.
Mungkin cuma Cinta yang bisa ikut,” tegur Sinta.
Mba Tia menarik napas panjang.
“Maaf, Nak. Upacara Ma’nene hanya boleh dilakukan oleh keluarga
almarhum. Kalian tidak bisa ikut, kecuali Cinta… karena dia masih
keluarga.”
Aku menelan ludah.
“Maaf, Mba, mungkin aku nggak bisa bantu banyak. Aku cuma mau
meneliti dari sisi luar saja.”
Mereka mengangguk pelan, tapi aku tahu ada sesuatu di balik tatapan
mereka,rasa cemas, atau mungkin rahasia yang belum terucap.
Malam tiba. Udara Kampung Baruppu terasa dingin dan sunyi. Suara
jangkrik berpadu dengan desir angin yang menembus celah dinding rumah.
Aku sulit tidur, teringat kata-kata nenek tua dan perubahan sikap Wa
Agus serta Mba Tia. Entah kenapa, firasatku berkata bahwa penelitian
ini tak akan berjalan seperti yang kami bayangkan.
Pagi berikutnya, aku mencoba menyingkirkan pikiran buruk.
Tapi ternyata, hari itu membawa kabar buruk. Mba Tia mendadak jatuh
sakit. Tubuhnya panas tinggi, tak sadarkan diri. Wa Agus panik mencari
pertolongan, namun rumah sakit terlalu jauh. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk membawanya ke kota dan harus menginap di sana.
Sebelum pergi, Wa Agus menggenggam tanganku erat. Tatapannya serius,
penuh beban.
“Cinta, hanya kamu yang bisa gantiin Uwa. Tolong… jalankan Ma’nene
untuk Mba Ayu. Itu amanat kami.”
Tubuhku gemetar. Rasanya berat, tapi aku tak sanggup menolak.
“Baik, Wa… Cinta akan bantu,” jawabku lirih.
Malam sebelum upacara, aku dan teman-temanku mencari tahu lebih banyak
tentang Ma’nene. Kami mencatat setiap langkah,cara membuka peti,
memandikan jenazah, mengganti pakaiannya. Warga mengingatkan kami agar
semua dilakukan dengan hati bersih dan penuh rasa hormat.
Hari itu pun tiba. Langit mendung, meski waktu menunjukkan pukul dua
siang. Udara terasa dingin menusuk. Di Panete, tempat jenazah
disemayamkan, aku berdiri kaku menatap tubuh almarhum Mba Ayu.
Wajahnya masih tampak tenang, seolah hanya tertidur.
Dengan hati-hati, aku mulai membersihkan tubuhnya. Namun dalam
kegugupan, aku melewatkan sesuatu yang penting. Saat mencari pakaian
baru, aku tak menemukannya. Panik, aku memutuskan mengenakan kembali
pakaian lama yang masih bersih. Kupikir itu tak masalah.
Namun ternyata, keputusan itu menjadi kesalahanku yang paling besar.
Malam harinya, setelah upacara selesai, kami semua berkumpul di rumah.
Suasana sunyi. Angin menerpa dinding kayu. Lalu terdengar suara
langkah pelan di teras.
“Tok… tok… tok…”
Aku menoleh ke jendela,tak ada siapa pun. Tapi suara itu makin dekat.
“Cin, kamu denger nggak?” bisik Kiana gemetar. Aku mengangguk pelan.
Lalu terdengar tangisan perempuan. Lirih, lalu makin keras. Tangisan
itu berhenti tepat di depan pintu kamar. Pintu terbuka perlahan dengan
suara
“kreeeekk…”
Sosok perempuan berdiri di ambang pintu. Rambut panjangnya basah
menutupi wajah, kulitnya pucat, dan pakaiannya… pakaian yang sama
yang kupakaikan siang tadi pada jenazah Mba Ayu.
“M-Mba… Ayu…” bisikku.
Tubuhku kaku. Teman-temanku berteriak. Sinta pingsan, Bilal mundur
ketakutan, Rifki berusaha menutup pintu tapi gagal. Sosok itu
menatapku lama, matanya kosong, lalu menghilang,meninggalkan aroma
tanah dan bunga busuk.
Sejak malam itu, teror tak berhenti. Kadang terdengar langkah kaki di
atap, suara orang memanggil namaku di tengah malam, atau bayangan
melintas di cermin yang kemudian retak tanpa sebab. Aku tak bisa
tidur, setiap malam mimpi wajah Ayu menatapku dari jarak sangat dekat.
Bahkan Rifki yang terbilang lelaki paling extrovert diantara kamu
mendadak menjadi seorang lelaki yang dingin.Yang aku tau sifatnya
seperti itu karena terorr ini membuat mentalnya turun drastis.
Namun,kami tau ini semua harus di selesaikan,kami akan selalu
berpegang tangan menjalani ini bersama-sama.
Esok harinya
Kami semua merasa ketakutan. Penelitian kami nyaris gagal. Hingga
suatu sore Rifki berkata,
“Guys, kalian masih ingat kata-kata Nenek Sarah kemarin? Aku
penasaran, itu artinya apa?”
Kami hampir lupa ucapan nenek itu.
“Gimana kalau kita tanya tetangga?” usul Bilal. Kami sepakat.
Kami mendatangi seorang lelaki tua di halaman rumahnya.
“Permisi, Pa,” sapa Azka sopan.
“Oh iya, ada apa, Nak?” jawabnya.
“Begini, Pa. Waktu kami baru datang, Nenek Sarah bilang
begini—‘Keppe- keppekomi, saekomi lako lili’ tau, anna tilalokomi
umpa’dei alukki, da’ namane’ki’ susi tau mate!’ Kami nggak ngerti
artinya.”
Wajah lelaki itu mendadak pucat. Tatapannya tajam.
“Artinya… hati-hati kalian datang sembarangan ke kampung orang,
tanpa menjalankan adatnya. Jangan cari mati!” katanya tegas.
Kami semua terdiam. Kalimat itu terngiang lama di kepala. Kami mencoba
menenangkan diri, berpikir semuanya akan baik-baik saja karena kami
sudah melakukan upacara Ma’nene, terutama aku.
Teman-teman ku merasa sangat ketakutan,namun,mereka lebih
menghawatirkan ku yang dengan nyata sudah menjalankan budaya upacara
ma’nene,mereka berfikir,bahwa aku lah yang akan terkena bahaya
besar,bukan mereka.
Hari berikutnya, teror sempat berhenti. Kami merasa lega,tapi itu
hanya sementara. Malam ini adalah puncaknya,Kiana yang tengah duduk di
meja makan tiba-tiba menggenggam tanganku erat. Terlalu erat.
“Kiana! Sakit! Lepas!” jeritku.
Namun suaranya berubah—serak, dingin, penuh amarah.
“MANDIKAN AKU DENGAN BENAR!! DASAR ANAK-ANAK TAK BERGUNA!!!”
Kami semua membeku. Itu bukan suara Kiana.
“M-Mba Ayu…?” suaraku bergetar.
Sosok di tubuh Kiana berdiri, menatapku tajam lalu mencekik leherku.
Nafasku tersengal. Rifki,Azka dan Bilal berusaha melepaskannya, tapi
kekuatan itu begitu besar. Sinta menjerit sambil berlari keluar,
menangis ketakutan.
Aku hampir kehilangan kesadaran ketika tiba-tiba terdengar suara mobil
di luar. Sinta memanggil,
“Wa Agus! Mba Tia! Tolong!”
Mereka masuk terburu-buru, terkejut melihat Kiana mencekikku. Wa Agus
segera menarik tangannya, sementara Mba Tia memeluknya erat sambil
berdoa.
“ka Ayu… tolong, lepaskan dia…”
Kiana terkulai, lalu tiba-tiba menatap kearah salah satu
temanku,Bilal.
tajam tatapannya dan ia berteriak,
“HAPUS!!! HAPUS!!! HAPUSSSSS!!!,KE TAE’, LA MATEKO!!!”
Mba ayu berteriak dan lagi-lagi kami mendengar bahasa Toraja yang
keluar dari Mulu Kania,yang artinya
“Kalau tidak,kamu mati!!!”
Kami semua gemetar. Wa Agus dan Mba Tia terus berdoa hingga akhirnya
tubuh Kiana lunglai. Arwah Mba Ayu keluar dari tubuhnya.
Aku menangis, memeluk mereka semua.
“Wa… Mba… kami diteror… sejak Ma’nene…” kataku terbata.
Wa Agus menatap leherku yang terluka.
“Ini pasti karena Ayu… Maaf ya sayang,maafkan mba ayu, tapi juga
marah.”
“Nak,” ujar Mba Tia dengan suara bergetar,
“apa kamu sudah bersihkan jenazah Ayu dengan benar?”
Aku mencoba mengingat.
“Aku… bersihin semua, tapi… bajunya, aku pakai yang lama karena
nggak nemu yang baru.”
Mba Tia terdiam. Air matanya menetes.
“Ya Tuhan, Cinta… itu kesalahan besar. Pakaian lama tidak boleh
dipakai lagi. Arwahnya jadi gelisah.”
Rasa bersalah menyesakkan dadaku. Aku sadar, kesalahanku membuat arwah
Mba Ayu tidak tenang. Tapi satu hal masih mengganjal,teriakan Mba Ayu
kepada Bilal.
“Bilal, kenapa dia teriak ‘hapus’ ke kamu?” tanya Azka.
“Bilal,ada apa Bilal!,kamu ngelakuin apaa!!” Ucap Sinta.
Badan Bilal gemetar tangannya menutup telinganya
“Nak Bilal…kamu?kamu melakukan apa na,saat mba ayu sedang di
mandikan..”
Dengan badannya yang gemeter Bilal menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadii,hal itu adalah hal paling menyakitkan yang pernah wa dan mba
ku dengar,termasuk kami sebagai teman nya.
“Aku… aku merekam semuanya,” katanya pelan. “Waktu Cinta mandiin
jenazah. Bukan buat hal jelek, cuma… aku pikir biar penelitian kita
punya bukti nyata.”
Wa Agus menatapnya lama, penuh kecewa. Namun akhirnya ia berkata
lirih,
“Nak… adat ini bukan tontonan. Setiap detiknya suci. Yang kamu
lakukan membuat arwahnya terjebak antara dunia dan akhirat.”
Malam itu, dengan bantuan warga, kami melakukan upacara Ma’nene ulang.
Aku memandikan jenazah Mba Ayu dengan benar, menggantinya dengan
pakaian baru, dan memohon maaf dengan sepenuh hati. Bilal menghapus
semua video itu sambil menangis.
Ketika upacara selesai, angin lembut berhembus. Aroma bunga segar
menggantikan bau tanah basah. Suasana menjadi damai. Aku tahu, Mba Ayu
telah memaafkan kami. Air mataku mengalir tanpa henti.
“Terima kasih, Teh Ayu,” bisikku dalam hati.
“Kau mengajarkan kami arti menghormati.”
Bilal berlutut, meminta maaf kepada Wa Agus dan Mba Tia. Mereka
memaafkannya dengan berat hati, tapi tanpa dendam.
“Yang penting, doakan mba Ayu selalu tenang,” ucap Wa Agus pelan.
Setelah semua selesai, kami kembali ke kampus dengan hati berat.
Pengalaman itu menorehkan luka dan pelajaran besar dalam hidupku dan
teman-teman ku,aku tidak membenci penelitian,penelitian ini memberi
tau aku untuk selalu berhati-hati dalam segala perbuatan ku.
Aku belajar satu hal: setiap tempat punya adatnya sendiri, setiap
budaya memiliki jiwa yang tak kasatmata.
Adat adalah jembatan antara manusia dan spiritualitas, siapa pun yang
melanggarnya harus siap menanggung akibatnya.
Siapa pun yang datang harus belajar untuk menghargai, bukan
menyepelekan. Sebab di balik setiap tradisi, selalu ada roh yang
menjaga dan menuntut rasa hormat
Terima kasih atas kisah yang penuh arti ini, Kampung Baruppu.