Museum Tengah Kota

Penulis : Carissa Aurellia Putri

Angin berhembus, menerbangkan beberapa helai rambutku. Udara segar kembali mengetik pagi yang dingin ini. Aku melangkah perlahan di tengah keramaian-pikuk kota yang baru saja terjaga. Meskipun matahari belum sepenuhnya naik, jalanan sudah dipenuhi orang-orang yang sibuk mengejar urusannya masing-masing. Tas yang terlihat ramai didekorasi berbagai macam gantungan kunci, lalu pakaian kekinian yang kupakai — aku yakin sudah cukup memberikan ciri khas untuk diriku ini.

Sejujurnya, rencanaku hari ini bermesraan dengan kasur tercinta. Namun apalah daya, sepertinya orang rumah sudah bosan melihat keberadaan ku ini. Jadi sekarang aku hanya perlu berkelana sampai akhirnya aku bisa menginjakkan kaki lagi di tempat beratap teduh itu.

Langkahku terhenti di depan pintu museum. Di pintu itu, terdapat tulisan aksara Sunda — bertuliskan “ᮝᮤᮜᮥᮏᮨᮀ ᮞᮥᮙ᮪ᮕᮤᮀ”, tulisan tersebut dibaca “Wilujeng Enjing” yang berarti “Selamat Datang”. Aku menatap ukiran itu beberapa saat, lalu tersenyum kecil. Aku bersyukur kakekku pernah mengajariku cara membaca aksara Sunda sedari kecil, maka dari itu membaca tulisan aksara yang terdapat di pintu museum itu tidak terlalu sulit untuk kubaca.

Setelah mendapatkan tiket masuk, penjaga museum mempersilahkan diriku ‘tuk menginjakkan kaki ke dalam museum tersebut. Dengan perasaan senang, aku melangkahkan kakiku dan berjalan masuk ke dalamnya. Entah apa alasannya, setiap kali masuk ke dalam museum—apa pun jenisnya—aku selalu merasa seolah tengah memasuki dimensi lain. Di dalam, tampak seorang kakek berpakaian rapi dan bergaya modis, seperti baru keluar dari majalah lawas yang penuh wibawa. Saat kami berpapasan, raut wajahnya seketika merekah dengan senyum hangat khas orang tua, menyapa senyumku yang terlihat canggung.

“Neng, mau liat-liat museum juga?”

Kakek itu bertanya, tak lepas dari senyumannya itu. Aku pun menggaruk tengkuk, bingung harus menjawab apa.

“Iyaaa, kek, hehe. Kebetulan mau nyari referensi buat karya tulis saya.”

“Ohh, neng nya suka menulis ya? Mau saya bantu nggak? Kebetulan, saya juga suka sama yang namanya sastra, pun sejarah budaya yang ada.”

Mendengar hal itu, saya pun sedikit terkejut. Namun ada rasa senang juga. Mungkin hari ini akan menjadi hari yang panjang, namun takkan pernah kulupakan.

“Oiya, kakek boleh memanggil aku Arunika saja ya.”

Aku dan kakek itu pun berkeliling, menelusuri seluk-beluk museum itu. Berbagai hal kita temui dan pelajari, seperti Indonesia di zaman pra-kolonial itu seperti apa, lalu pahlawan mana saja yang telah berjasa atas kemerdekaannya, dan banyak hal lagi. Saat melewati deretan senjata yang dipakai di zaman dahulu, seperti keris, bambu runcing, golok, dan sebagainya. Aku sempat membayangkan, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘵𝘢-𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘵𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 ?

Lalu saat melewati deretan berbagai macam batik yang dipajang, langkah kami pun berhenti. Batinku tak luput dari rasa kagum ketika melihat corak dan warna dari semua batik yang dipajang dengan indah. Bagaimana tangan sederhana manusia dapat memesan kain seindah ini? Aku yang tenggelam dalam lamunanku sendiri saat memperhatikan berbagai detail di semua batik yang dipajang, disadarkan oleh sang kakek yang mulai memecahkan keheningan.

“Batik-batik ini punya maknanya tersendiri lho, Aru. Setiap pola yang dibuat oleh penenunnya, menyampaikan pesannya masing-masing.”

Saya pun mendengarkan penjelasan kakek tersebut, sepertinya beliau sengat menikmati setiap karya dan peninggalan yang ada di museum ini. Omong-omong, kakek ini namanya siapa ya? Usia kakek ini berapa? Banyak sekali pertanyaan yang mulai memenuhi pikiranku. Namun sebelum sempat bertanya, langkah kakek sudah menjauh dari tempat yang ‘ku pijak saat ini. Aku pun melakukan mengejarnya, lalu menyamakan langkahku dengannya. Orang-orang dewasa lainnya menatap sekilas kepada kita, mungkin mereka berpikir kalau pria tua dan remaja ini merupakan kakek dan cucu yang sedang menghabiskan waktu bersama di museum.

Kami terus berjalan melewati lorong berikutnya, yang terasa lebih sunyi dari ruangan sebelumnya. Lampu-lampu gantung berpendar redup, memantulkan cahaya keemasan di lantai marmer yang dingin. Di sepanjang dinding, terpajang berbagai lukisan dan foto tua: wajah para bangsawan, seniman, penenun, dan pejuang yang pernah melukis perjalanan negeri ini.

Kakek itu berhenti di depan salah satu lukisan besar bergaya klasik.
Di sana, terdapat lukisan yang menggambarkan seorang pria bersinar teduh mengenakan batik berwarna cokelat tua—berpakaian rapih dan terlihat cukup modis, jika disandingkan dengan zaman itu — bertahan dengan apa yang sedang dipakai oleh kakek di sebelahku. Karena penasaran, saya pun mencoba membaca informasi mengenai lukisan tersebut.

“???? 𝘗𝘦𝘭𝘦𝘴𝘵𝘢𝘳𝘪, 1920–1985.”

Baru saja membaca sedikit informasi yang kubaca, suara berat namun lembut khas kakek itu terdengar lagi.

“Beliau itu dulunya pencinta budaya negeri ini, Aru. Mulai dari bahasa, dan berbagai karya seni lainnya juga. Bagi beliau, Bahasa dan Budaya adalah nyawa bagi bangsa. Maka dari itu, beliau senantiasa memperkenalkan berbagai macam budaya. Berharap generasi selanjutnya akan tetap menyukai budaya bangsanya sendiri.”

Aku mendengarkan kakek itu dengan lirih, rasa haru sepertinya cukup menjelaskan perasaan ku saat ini.

“Kakek sepertinya sangat mengenal tokoh tersebut ya?”

Kakek itu tersenyum, cukup lama. Tanpa pertanyaan menjawabku itu secara lisan, dia hanya mengangguk. Rasanya ada yang menjanggal, tapi kutahan semua rasa penasaran ku ini. Kami pun melanjutkan perjalanan kami dalam menjelajahi seluk-beluk museum ini, hingga hari menjelang sore.

Ada pepatah mengatakan, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku berpamitan dengan kakek yang sedari tadi menemani sepanjang hariku ini. Namun sebelum berpisah, saya pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Maaf! Kalau boleh bertanya, nama kakek siapa?” tanyaku, dengan sedikit melembutkan nada suaraku. Kakek itu pun tersenyum. Senyumannya tampak bertahan seperti senyum pria yang ada di lukisan tadi.

“Namaku Wirya Anantaka.” Jawabnya, dengan teduh dan senyum hangat. Beliau memandang dengan tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sedangkan aku, berdiri dengan melebar yang melebar. Terkejut bukan utama. Kakek itu pun mendekat, lalu menenangkan kepalaku dengan lembut, sebelum pergi meninggalkan aku yang seperti habis dibombardir oleh kebenaran.

Saat aku melangkah keluar museum, angin sore menyapa wajahku. Udara terasa berbeda—lebih hangat, lebih hidup.
Di dalam tas, buku catatanku kini terbuka di halaman kosong. Namun di sana, akan tertulis kisah seorang pria tua tadi. Dan akan kupastikan, kakek itu menyukai karya tulis yang kubuat.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori