Bulan Bahasa, Sumpah Pemuda, dan Tantangan Bahasa Indonesia di Era Digital

Setiap bulan Oktober, kita selalu diingatkan akan dua momentum besar yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia: Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia serta Hari Sumpah Pemuda. Dua peringatan ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya berbicara tentang identitas bangsa, tentang semangat persatuan yang lahir dari keberagaman, dan tentang bahasa yang menjadi pengikat seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Namun, jika kita melihat kondisi saat ini, terutama di era digital yang serba cepat dan serba global, makna dari keduanya seolah mulai kabur di tengah hiruk pikuk dunia maya. Bahasa Indonesia—yang dahulu dijunjung tinggi sebagai simbol persatuan dalam ikrar Sumpah Pemuda—kini seringkali kehilangan tempatnya di tengah maraknya penggunaan bahasa campuran dan pengaruh budaya global.


Bahasa dan Sumpah yang Menyatukan Bangsa

Kita tentu masih ingat isi ketiga butir Sumpah Pemuda:

  1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Butir ketiga ini memiliki makna yang sangat dalam. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga alat pemersatu. Pada masa pergerakan nasional, para pemuda dari berbagai daerah yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda bersepakat untuk memilih satu bahasa yang bisa menjadi jembatan kebersamaan. Mereka sadar bahwa tanpa bahasa yang sama, sulit untuk membangun kesatuan gerak dan tujuan.

Kini, hampir satu abad berlalu, Bahasa Indonesia telah berkembang pesat dan menjadi bahasa yang hidup—dipakai di sekolah, media, pemerintahan, hingga ruang digital. Namun, ironisnya, di tengah keberhasilannya menyatukan bangsa, bahasa ini justru sedang diuji oleh zaman.


Bahasa Indonesia di Tengah Arus Media Sosial

Kita hidup di masa di mana media sosial menjadi ruang utama komunikasi. Generasi muda tumbuh dengan bahasa yang sangat cair: campuran antara Indonesia, Inggris, dan bahasa gaul. Ungkapan seperti “healing dulu biar nggak overthinking” atau “vibes-nya nggak enak banget deh” menjadi hal yang lazim.

Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan kreativitas linguistik masyarakat modern—bagaimana bahasa terus berevolusi mengikuti zaman. Bahasa memang hidup dan dinamis, tidak kaku. Namun di sisi lain, jika dibiarkan tanpa kesadaran kritis, hal ini bisa membuat identitas kebahasaan kita terkikis.

Bukan berarti kita tidak boleh menggunakan bahasa asing. Dunia global menuntut kita untuk menguasainya. Tapi yang perlu diwaspadai adalah ketika Bahasa Indonesia justru dianggap kurang keren, tidak modern, atau terlalu formal. Pandangan seperti ini bisa perlahan menumbuhkan jarak antara masyarakat, terutama generasi muda, dengan bahasa nasionalnya sendiri.

Lebih memprihatinkan lagi, banyak dari kita yang kini mulai abai terhadap penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di media sosial, kesalahan penulisan, campur aduk bahasa, dan ungkapan kasar sering dianggap biasa. Padahal, dari bahasa pula karakter dan budaya suatu bangsa bisa tercermin.


Rasa Nasionalisme yang Mulai Menipis

Fenomena pergeseran bahasa ini sesungguhnya menggambarkan sesuatu yang lebih besar: menurunnya rasa nasionalisme di kalangan generasi muda. Nasionalisme bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tetapi juga bagaimana kita menghargai warisan budaya bangsa, termasuk bahasa.

Bahasa Indonesia adalah wujud nyata dari perjuangan panjang para pendahulu. Ia adalah simbol dari semangat persatuan yang menyatukan bangsa ini dari ratusan suku dan bahasa daerah. Saat kita menyepelekan bahasa sendiri, tanpa sadar kita sedang menjauh dari akar sejarah dan identitas kita.

Sebagai masyarakat, kita perlu jujur bahwa rasa cinta terhadap bahasa nasional kini tidak sekuat dulu. Banyak orang tua yang lebih bangga jika anaknya fasih berbahasa Inggris, tetapi tidak terlalu peduli ketika anaknya kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik. Di sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia sering dianggap membosankan dan ketinggalan zaman. Padahal, di sanalah sebenarnya dasar kecerdasan berbahasa dan berpikir logis dibangun.


Menjaga Bahasa di Tengah Perubahan Zaman

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan kebahasaan di era digital ini?
Kuncinya bukan pada menolak perubahan, tetapi menyikapinya dengan bijak. Kita bisa mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri.

Sebagai masyarakat modern, ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan:

  1. Gunakan Bahasa Indonesia dengan bangga, terutama di ruang publik dan media sosial. Tidak perlu malu menggunakan bahasa sendiri dengan gaya yang tetap segar dan menarik.
  2. Bangun kesadaran literasi, bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga berpikir kritis terhadap bahasa yang kita gunakan setiap hari.
  3. Lestarikan karya sastra dan budaya bahasa Indonesia, baik melalui membaca, menulis, atau mengapresiasi karya anak bangsa.
  4. Ajarkan generasi muda untuk berbahasa dengan santun dan cerdas, agar mereka paham bahwa bahasa bukan sekadar alat bicara, tetapi cermin kepribadian dan nilai bangsa.

Bahasa Indonesia harus tetap hidup, bukan hanya di buku pelajaran atau pidato resmi, tapi juga di ruang-ruang digital tempat generasi muda berinteraksi setiap hari. Di situlah masa depan bahasa ini dipertaruhkan.


Menumbuhkan Kembali Rasa Bangga Berbahasa Indonesia

Peringatan Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda seharusnya menjadi momentum refleksi bersama: apakah kita masih benar-benar menjunjung bahasa persatuan? Ataukah kita hanya mengenangnya sebagai sejarah yang lambat laun dilupakan?

Sebagai masyarakat Indonesia, kita semua—baik tua maupun muda—punya tanggung jawab untuk menjaga dan menghidupkan Bahasa Indonesia. Kita tidak bisa menyerahkan tugas itu hanya kepada pemerintah atau lembaga pendidikan. Bahasa adalah milik kita semua, dan keberlangsungannya bergantung pada seberapa besar rasa cinta kita terhadapnya.

Kita boleh modern, boleh global, tapi tetap harus bangga menjadi bangsa yang berbahasa Indonesia. Karena lewat bahasa itulah kita saling memahami, bekerja sama, dan membangun peradaban bersama.

Seperti halnya para pemuda tahun 1928 yang bersatu lewat satu bahasa untuk memperjuangkan kemerdekaan, kini saatnya kita bersatu lewat bahasa pula—untuk menjaga keberagaman, menghadapi tantangan global, dan tetap teguh sebagai bangsa yang berdaulat di atas tanah sendiri.


Bahasa Indonesia bukan sekadar kata-kata. Ia adalah jiwa bangsa.
Dan selama kita masih setia menggunakannya dengan cinta, Indonesia akan tetap utuh dalam satu bahasa, satu semangat, satu kebanggaan.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori